Senin, 09 Juli 2012

RI Hilirisasi Industri Tambang, Jepang Ancam Perang Dagang

JAKARTA: Jepang mengancam akan menyetop impor kertas fotokopi dari Indonesia jika Indonesia benar-benar memberlakukan Permen ESDM 7/2012 dan menyetop pasokan bijih nikel ke negeri sakura itu.

Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini mengatakan Jepang sudah mengancam secara informal dan menyampaikan hal itu kepada BKPM. Menanggapi ancaman itu, Rudi mengatakan Indonesia juga mengancam secara informal akan menyetop pasokan gas ke Jepang.

“Tantangan Jepang, dia akan stop impor kertas fotokopi dari Indonesia. Dia sudah ngomong ke BKPM. Kalau impor kertas fotokopi dilarang, kita bisa larang ekspor gas ke Jepang. Tapi itu belum [dilakukan], itu baru omongan-omongan informal saja,” ujarnya dalam diskusi bertema ‘Mewujudkan Hilirisasi Industri Tambang Tanpa Mengorbankan Kepentingan Rakyat’, hari ini.

Seperti diketahui, Jepang banyak bergantung pasokan bijih nikel dari Indonesia untuk membuat stainless steel yang kemudian banyak dia ekspor barang jadinya. Jepang merasa terancam tidak ada pasokan bijih lagi dari Indonesia, jika Indonesia melarang ekspor mineral mentah pada 2014.

Padahal, tujuan dari diberlakukannya aturan itu adalah untuk menjaga pasokan dalam negeri dan menumbuhkan hilirisasi tambang. Rudi pun merasa ancaman Jepang itu hanya sekedar ancaman. Pasalnya, Jepang sangat bergantung dengan pasokan gas dari Indonesia. Seperti diketahui, selama ini ekspor gas Indonesia ke Jepang (dalam bentuk LNG) cukup besar.

“Porsi ekspor gas kita ke Jepang itu banyak. Dia sangat tergantung sama kita. Jepang nunduk [sama Indonesia] kalau urusan gas,” ujarnya.

Selama ini, banyak pasokan LNG dari Bontang dan sebagian dari Tangguh, diekspor ke Jepang. Secara umum selain ke Jepang, Indonesia juga mengekspor gas ke Korea, Taiwan, dan China.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, ekspor bijih nikel naik 8 kali sejak 2008 sekitar 4 juta ton menjadi sekitar 33 juta ton pada 2011. Hal ini tidak mendorong tumbuhnya industri nikel atau stainless steel di dalam negeri. Padahal jika diolah di dalam negeri, nilai tambah yang diperoleh bisa mencapai 19 kali lipat. (arh, bisnis.com )

Rabu, 04 Juli 2012

Jepang Manipulasi Kerjasama Perdagangan

Jakarta – Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) mengajak Indonesia untuk bekerja sama di beberapa sektor industri, salah satunya adalah sektor industri otomotif. Namun pemerintah tidak serta merta menerima ajakan kerjasama tersebut.

“Pasalnya kerjasama tersebut belum terlihat keuntungan yang cukup besar terhadap industri nasional,” ungkap Dirjen Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana usai seminar Implementasi Kegiatan Manufacturing Industrial Development Centre (Midec) di Jakarta, Selasa (3/7).

Lebih jauh lagi Agus mengungkapkan, kerjasama itu akan ditinjau. Namun, sebelum ditinjau pihaknya akan mendengarkan hasil evaluasi kerjasama tersebut.”Kita akan lihat siapa yang diuntungkan dan apa yang harus di evaluasi,” ungkap Agus.

Agus mengakui, jika kerjasama kedua negara itu belum terlalu menggembirakan bagi Indonesia. Menurut dia, impor dari Jepang masih lebih besar dibandingkan ekspor Indonesia. Tapi, itu untuk industri saja.

Menurut dia, ekspor Indonesia ke Jepang masih dalam bentuk bahan baku industri Jepang industri. “Karena itu, kita harus memperkuat industri nasional. Mungkin ini juga karena kesalahan industri dalam negeri. Jadi kesalahan tidak bisa sepenuhnya dilimpahkan ke Jepang,” katanya.

Defisit Perdagangan Makin Melebar

Director Trade Policy Bureau Ministry of Economy, Trade and Industry (Meti) Jepang Hiroshi Aimoto mengatakan, dalam peninjauan itu tentu juga akan memperhatikan neraca perdagangan siapa saja yang divisit.”Yang penting evalusi ini kita lihat posisi seperti apa, kalau ada masalah ketimpangan tentu harus diselesaikan,” katanya.

Sebelumnya eSekretaris Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Syarif Hidayat mengungkapkan, kerjasama Indonesian-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) diharapkan jangan hanya menguntungkan pihak Jepang saja, terutama mengenai bea masuk produk otomotif di kedua negara.

Saat ini bea masuk produk otomotif Jepang ke Indonesia sudah 0%, sedangkan otomotif Indonesia masih harus membayar bea masuk yang tinggi. Untuk itu, Indonesia harus bisa mengambil keuntungan dengan melakukan langkah-langkah kebijakan diluar bea masuk. “Kita juga harus ambil keuntungan dari kerjasama ini, sebagai upaya mengimbangi. “Dengan adanya IJ-EPA maka kita harus menurunkan bea masuk, artinya kita membuka pasar bagi produk mereka,” tukas Syarif.

Untuk itu, menurutnya Indonesia harus dapat mendapatkan keuntungan lain dari kerjasama ini. Misalnya dengan kerjasama atau bantuan berupa bidang yang lain seperti tekstil, alat berat, elektronik dan lain-lain.

Terlebih lagi, setelah PT Astra Daihatsu Motor Indonesia telah mengekspor produk Toyota Gran Max ke Jepang sebanyak 1.500 unit mobil per bulan, dengan total ekspor ke Jepanng 18 ribu per tahunnya.

Syarif juga menanggapi, adanya pandangan bahwa produk mobil Indonesia yang dikirim ke Jepang justru mendapat subsidi karena produsen di dalam negeri mendapat insentif dari pemerintah. “Kalau soal harga itu adalah kebijakan bisnis. Pemerintah tidak mau ikut campur soal itu. Tentunya mereka punya skala harga disetiap masing-masing wilayah ekspor,” tutupnya.

Tidak Ada Transfer Teknologi

Hal senada juga di ungkapkan Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia,Gunadi Sindhuwinata yang mengungkapkan kerjasama Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (IJEPA) yang menelurkan Manufacturing Industrial Development Center (Midec), tidak berjalan semestinya. Sebab, Indonesia sejauh ini belum merasakan manfaat besar, termasuk transfer teknologi dan pengetahuan yang disepakati. “Nilai tambah dari kerja sama itu belum ada, tetapi sebaliknya, Jepang telah merasakan manfaat dengan bea ekspor impor 0%,” katanya.

Menurut dia, Jepang bisa memperoleh manfaat dari kerjasama bilateral tersebut dengan nilai triliunan Rupiah setiap tahunnya. Sementara masyarakat otomotif Indonesia belum secara langsung merasakan manfaat kerjasama itu. Karena itu, Gunadi meminta pemerintah memberi dukungan penuh pada industri sektor otomotif untuk meraih manfaat kerjasama tersebut. Sebab, Indonesia dinilai sangat berpeluang untuk berhasil dalam mengembangkan industri otomotif seperti China di kawasan Asia.

Dia mengatakan, China awalnya tidak memiliki teknologi untuk mengembangkan otomotif, tetapi dukungan kebijakan pemerintah untuk menjadikan negara tersebut sebagai basis industri otomotif sangat kuat. “Dukungan pemerintahnya kencang, otomatis pendidikan yang mendukung industri tersebut juga akan naik,” jelasnya.

Dia memberikan masukan kepada pemerintah untuk membangun sebuah wadah, seperti Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) di Bandung, Jawa Barat, untuk dapat menggerakan industri otomotif di Indonesia. “Hampir setiap tahun puluhan ahli Indonesia, dari LIPI, BPPT, maupun dari universitas dikirim keluar negeri untuk memperoleh ilmu langsung dari sana. Sayangnya di sini tidak ada wadahnya. Karena itu, wadah semacam IPTN itu perlu ada,” tambah Gunadi.

Kondisi tersebut, kata dia, sangat berbeda dengan China, sehingga tidak heran jika negara itu menjadi basis industri otomotif terpesat di Asia, bahkan menyalip Jepang. Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang mengikuti China mengingat Indonesia menjadi negara di Asia Pasifik dengan potensi pertumbuhan pasar cukup besar. “Itu mimpi yang bisa jadi kenyataan. Tapi harus ada upaya,” terangnya. (neraca.co.id)

Indonesia Siap Rebut Inalum Dari Jepang

Jakarta – Pemerintah siap mengambil alih pengelolaan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) pasca berakhirnya Master Agreement dengan pihak Nippon Asahan Aluminium (NAA) Jepang pada 2013.

“Pemerintah tetap ngotot untuk mengambil kepemilikan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dari pemerintah Jepang. Kita tetap ingin Inalum dimiliki Indonesia dan perusahaan tersebut terus berkembang,” kata Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana, di Jakarta, Selasa (3/7).

Agus menegaskan untuk perundingan baru akan dimulai pada Agustus 2012. Saat ini, pihaknya sedang melakukan persiapan untuk bertemu dengan pihak Jepang. “Pemerintah akan melakukan negosiasi pengambilalihan Inalum dengan pihak NAA pada bulan depan. Diharapkan hasilnya positif bagi Indonesia,” ujarnya.

Untuk pengembangan Inalum sendiri, katanya, pemerintah membutuhkan anggaran sebesar US$1,2-1,4 miliar. “Angka tersebut untuk meningkatkan kapasitas produksi aluminium dari 200 ribu ton menjadi 410 ribu ton. Dananya sendiri bisa diambil dari go public, investor dan pinjaman lainnya,” paparnya.

Agus menambahkan produksi Inalum sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Seiring bertumbuhnya sektor industri, Inalum akan memasok bahan baku aluminium bagi pasar dalam negeri pasca pengambilalihan dari pihak Jepang,” ungkapnya.

Ambil Alih

Beberapa waktu lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan mengisyaratkan PT Perusahaan Listrik Negara akan menjadi pemimpin konsorsium BUMN untuk mengambilalih PT Indonesia Asahan Alumunium pada 2013. “Sejumlah BUMN akan dikerahkan untuk mengelola BUMN, dan PLN bisa sebagai pemimpin konsorsium,” kata Dahlan.

Menurut Dahlan, selain PLN, dalam konsorsium tersebut juga akan menyertakan BUMN lain seperti PT Aneka Tambang Tbk, maupun PT Timah Tbk. “Pembentukan konsorsium akan memudahkan pengelolaan Inalum ke depan karena disesuaikan dengan bidang masing-masing BUMN. PLN misalnya mengelola pembangkit listrik Asahan II, sedangkan untuk aluminium bisa digarap oleh Antam dan Timah,” ujarnya.

Dahlan menambahkan keinginan PLN untuk masuk Inalum sudah dimasukkan dalam rencana jangka panjang perusahaan. “Ketika saya masih menjadi Dirut PLN, kami sangat berminat untuk mengoperasikan Inalum karena sejalan dengan rencana integrasikan pembangkit listrik Asahan II berkapasitas 600 MW dengan sistem kelistrikan PLN di Sumatera Utara,” ujarnya.

Dia berpendapat, integrasi listrik tersebut dapat membantu PLN di saat kekurangan daya sehingga semakin memudahkan jaminan ketersediaan listrik di kawasan itu. “PLN mengurusi listrik, sedangkan Antam dan Timah bisa mengelola pabrik peleburan aluminium. Dimungkinkan juga BUMN tersebut menggandeng pihak swasta melalui Pemda,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia menguasai 41,13 % saham di Inalum, selebihnya atau sebesar 58,87 persen dikuasai Jepang. Namun sesuai perjanjian kontrak, pengelolaannya yang selama ini dipegang Jepang segera berakhir 2013. Namun pemerintah Indonesia memutuskan tidak memperpanjang kontrak tersebut, sehingga untuk menguasai seluruh saham Inalum tersebut harus disiapkan dana sekitar US$762 juta.

Berdasarkan perhitungan Otorita Asahan, proyeksi nilai buku Inalum pada 2013 mencapai US$ 1,272 miliar yang mencakup pembangkit listrik (power plant) US$268 juta, pabrik peleburan (smelter) US$ 143 juta , inventori US$ 148 juta dan aset-aset lain sekitar US$ 650 juta.

Dahlan menambahkan, untuk membiayai pengambilalihan saham tersebut pemerintah sudah menyiapkan dana sekitar Rp2 triliun yang akan dibiayai oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP). “PIP yang akan membiayai pengambilalihan sebagai penerima atas nama pemerintah, namun karena PIP bukan perusahaan yang mengelola industri sehingga pengelolaannya dapat tenderkan ke BUMN,” ujarnya.

Meski begitu Dahlan menuturkan skenario tersebut bukan datang dari dirinya namun merupakan langkah yang memang disiapkan pemerintah melalui Tim Negosiasi Inalum yang diketuai Menteri Perindustrian MS Hidayat, dengan anggota pejabat dari Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan.(neraca.co.id)