Strategi Dua kartu oleh Jepang
Wakil PM Jepang, Takeo Miki boleh disebut berhasil gemilang. Ia membikin negerinya dipandang sebagai sahabat di mata negara-negara minyak Arab. Selama tiga pekan keliling Timur Tengah, diplomasi Miki sedikitnya berhasil melunakkan hati Raja Faisal dan para syeik untuk mengendorkan sumbat minyak sebanyak 10% dari embargo yang 25 sejak September lalu.
Sekalipun begitu, pemerintah dan kaum bisnis masih diliputi perasaan waswas adakah roda industri mereka akan berputar sekencang semula. Dan perasaan seperti itu telah membuat kaum industrialis Jepang bak kucing-kucing yang keselomot ekornya. Tidak kurang dari setengah lusin negara-negara minyak Teluk Persia mencapai kata sepakat di Teheran, 23 Desember lalu, untuk menaikkan harga minyaknya dua kali lipat dari harga yang dipasang pertengahan Oktober lalu. Tak ayal lagi, pertemuan di Teheran telah membuat para industrialis Jepang yang baru saja menarik napas sedikit lega, merasa ditimpuk punggungnya. Dan PM Tanaka agaknya tahu bahwa pengendoran aliran minyak Arab itu takkan bisa membalikkan arah ekonomi Jepang yang sudah ditimpa gejala resesi sejak tahun lalu. Ditambah dengan keparahan yang terjadi sebelumnya -- seperti dua kali Nixon Shokku -- ekonomi Jepang bagaimanapun tak akan pulih seperti semula. Meskipun ada sementara ramalan pesimis di Tokyo yang sampai bicara tentang pertumbuhan nol bagi ekonomi Jepang dalam tahun 1974 ini. Agaknya yang lebih masuk akal adalah seperti dikeluhkan Profesor Toru Yano.
Meramu berbagai ramalan kaum cendekia dan bisnis Jepang, ahli politik dari Universitas Kyoto itu lebih setuju dengan pendapat yang memperkirakan kemunduran ekonomi Jepang kalau toh terjadi akan berbalik seperti di tahun 1972. Kalau benar begitu, kemunduran yang dua tahun itu memang tidak separah yang dikira semula.
Namun meskipun Tanaka sebenarnya enggan untuk berkeliling di kawasan Asia Tenggar yang panas, bukan mustahil kunjungannya ke Jakarta yang untuk pertama kalinya ini akan punya arti tersendiri.
Pembicaraan yang kabarnya memakan 3 jam dengan Presiden Soeharto tidak terlepas dari dua soal pokok: Minyak dan gas LNG. Balasan Yahudi Benar bahwa minyak yang masuk ke Jepang 80% lebih berasal dari negara-negara penghasil minyak Arab, Teluk Persia plus harga untuk menyalakan 90O pembangkit tenaga listrik Jepang. Sedangkan andil ladang-ladang minyak di Indonesia yang sebagian besar dialirkan ke Jepang paling banter mewakili 16% saja dari seluruh kebutuhan.
Tapi kalau saja orang mengingat betapa hebohnya Amerika ketika aliran minyak Arab sekitar 8% diputus sama sekali, bisa dibayangkan bahwa andil minyak Indonesia yang meskipun secuil itu agaknya sulit untuk dicari penggantinya. Lagipula hubungan baru Jepang dengan Timur Tengah -- kendati belum sampai pada keretakan diplomatik dengan Israel -- tak urung menimbulkan kepusingan lain.
Koresponden Far Eastern Economic Review, Koji Nakamura melaporkan dari Tokyo akan besarnya kemungkinan masyarakat Yahudi di Amerika sampai Eropa akan mengambil tindakan balasan. "Beberapa perusahaan dagang dan lembaga-lembaga keuangan mengatakan bahwa nasabah-nasabah keturunan Yahudi mengemukakan rasa tidak puas yang sengit terhadap sikap Jepang yang pro Arab", tulis Nakamura.
Tidak dikatakan bagaimana perasaan mendongkol lingkaran Israel itu akan mewujudkan balasannya di bidang bisnis. Tapi ada dilaporkan bahwa porsi minyak Iran dan Indonesia yang sebenarnya diperuntukkan bagi Jepang, diam-diam kabarnya ada yang dibelokkan ke Amerika. Benar tidaknya sinyalemen seperti itu bagi Indonesia barangkali hanya Caltex yang mafhum, sebagai penyedot sejuta barrel sehari minyak di sini.
Yang pasti, Jepang memang tidak seberuntung atau seberani Amerika dalam membenamkan modalnya di sektor eksplorasi minyak. Kalau Aspri Presiden Soedjono Humardhani, beranggapan merasuknya modal Jepang ke Indonesia disebabkan keberanian mengambil risiko ketimbang banyaknya pengusaha asing lainnya, pendapat seperti itu jelas tidak berlaku bagi minyak bumi.
Sesungguhnya lebih kena kalau Jepang disebut suka memilih bidang-bidang yang rada "enak" seperti industri-industri barang konsumsi, meskipun benar lebih agresif sikapnya dari yang lain.
Jepang misalnya ternyata tidak kuasa menggali minyak di dasar laut. Japan Petroleum Exploration Company (Japex) yang pernah bertahun-tahun mencoba mengail ladang hitam Atacca, akhirnya toh putus asa. Ia menyerahkannya kepada Gulf dan Union Oil dari Amerika, yang di pertengahan tahun 1971 berhasil memompa minyak dari ladang Atacca di Kalimantan Timur, persis seminggu setelah kontrak Japex dijual (TEMPO 20 Mei 1972) .
Dengan Japex atau C. Itoh ataupun maskapai Kyushu di pulau Masalembu, Kalimantan Selatan, andil Jepang di berbagai eksplorasi lepas pantai sampai sekarang belum bisa disebut bertaraf besar.
Tapi kalahnya Jepang dibandingkan maskapai-maskapai Amerika, tidak dengan sendirinya berarti bahwa kepentingan Jepang itu kecil artinya dalam dunia perminyakan di Indonesia. Di Dumai, kilang-kilang minyak Pertamina yang menjulang tinggi adalah berkat kerjasama dengan Sumitomo. Rencana pendirian stasiun minyak raksasa di Merak kalau jadi kelak, merupakan hasil trio Pertamina, Sumitomo dan Santa Fe dari Amerika.
Dan kalau di suatu pagi aliran minyak Jepang yang datang dari Timur Tengah jadi disuling di pangkalan Balam -- proyek idaman Pertamina yang direstui Presiden Soeharto -- nama Nissho Iwai sebagai kontraktor multinasional tidak boleh dilupakan, di samping kontraktor Pacific Betchel International dari AS.
"Sistim Ijon" Masih banyak lagi untuk disebutkan tangan-tangan perusahaan Jepang yang masuk dalam dunia perminyakan di Indonesia. Tapi yang rupanya belum dikenal AS dalam suatu urusan mencampur minyak di sini, adalah jaminan Jepang untuk memperoleh minyak Indonesia selama 10 tahun. Dan jaminan yang bersumber dari ladang Pertamina di Jatibarang itu, adalah dengan imbalan kredit 200 juta dollar AS untuk usaha perluasan Pertamina dengan syarat-syarat selunak kredit IGGI.
Para pengritik di sini menyebabkan pemberian tambahan kredit dengan bahan minyak itu sebagai "sistim ijon". Meskipun dalam hal harga, seluruh minyak ladang Jatibarang yang dikirim ke Jepang tunduk pada patokan 10,80 dollar AS per barrel.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, staf ahli LPEM-UI, menganggap cara berdagang seperti itu merusak kedudukan minyak Indonesia yang memiliki posisi seller's market. Dengan kata lain, posisi ekspor minyak Indonesia, yang sesungguhnya memiliki pasaran yang mono-polistis sudah ditembus oleh Jepang.
Ini berlaku sampai kekayaan minyak di Jatibarang, yang kabarnya subur itu, selesai melunaskan jaminannya sebesar 50 juta barrel kepada Japan Indonesian Oil Company (JIOC). JIOC ini merupakan maskapai kongsi antara Pertamina, industri mobil Toyota, Japan Oil, Tokyo Electric dan lain-lain, dan menjadi kongsi minyak Pertamina-Jepang kedua di samping Far East Oil Company yang memang terkenal sebagai penampung minyak Indonesia. Kalangan Jepang sendiri pada mulanya berpendapat bahwa kontrak semacam itu tidak banyak artinya. Bukankah minyak Arab sampai Persia plus 84% dari hasil minyak Indonesia deras mengalir ke kilang-kilang penyulingan di Jepang? Tapi, ketika Raja Faisal dari Arab-Saudi dan seperangkat jirannya mendadak berbalik melancarkan tindakan embargo tanpa diskriminasi (tidak lama setelah pecahnya konflik Arab-Israel),
Pemerintah di Tokyo tentu mulai terbuka matanya betapa pentingnya punya jaminan minyak selama 10 tahun. "Kalau tadinya Sato hanya ingin bermesra-mesra dengan Soeharto untuk menyambut kredit jaminan minyak, kini Tanaka tentu ingin meluaskan cara-cara seperti itu", kata seorang kontraktor dari California. "Minyak anda yang sungguhpun kecil sungguh bagaikan gadis manis yang jadi rebutan". Gadis manis atau janda muda, si Hitam yang makin menonjol ibarat logam mulya memang sudah waktunya bersikap "jual mahal".
Atau, meminjam istilah Dr Sadli, "merupakan kartu truf". Nah, kalau demikian halnya, sudah tibalah saatnya pemegang-pemegang kartu di Indonesia bermain lebih gigih? "Akhir-akhir ini Pemerintah mulai sadar akan posisi bahan mentah Indonesia yang makin penting". Dan Menteri Pertambangan merasa tidak keberatan kalau mulai sekarang Pemerintah mulai menjalankan seleksi yang lebih ketat terhadap masuknya modal asing.
Tapi sebelum kesadaran yang ada itu terujud, kisah lain yang mirip-mirip dengan kontrak gaya Jati-barang, berulang kembali. Dan sasaran yang dipilih kali ini jatuh pada itu gas alam cair alias LNG (liquified peroleum gas) Bendera Di Bulan Mengapa pilihan Jepang jatuh pada LNG tidak sulit untuk ditebak. sejak musim semi 1971, Jepang sudah mengimpor bahan yang berharga itu dari Alaska.
Mudah difahami mengapa Jepang merasa tidak aman kalau hanya bergantung dari sumber AS. Sebab, negeri ini mulai mengerahkan segala daya dan daya untuk berdikari dalam sumber minyak. Dan jelas tidak begitu suka kalau ada tangan luar ikut menyentuhnya. Amerika mengenai proyek Manhattan yang mampu dalam sekejap mengubah Hiroshima menjadi neraka, lalu proyek Kennedy yang bagaimanapun berambisi untuk menancapkan bendera pertama di Bulan.
Maka semacam proyek yang memacu sumber-sumber enerji di kandang sendiri sudah disepakati Gedung Putih, disertai biaya yang melimpah. Tidak mengherankan bila Jepang yang luka parah akibat krisis minyak ang makin menggila harganya itu, makin melirik ke sumber-sumber enerji di Indonesia .
Dan selain melirik Jepang mendapat Presiden The Kansai Electric Power Co. di pagi
3 Desember lalu menyampaikan kata-kata "domo arigato gozaimasuta" atas nama para konsumen LNG di Jepang.
Sebagai salah satu dari hampir selusin kontraktor yang kabarnya berhasrat membenamkan 2,1 milyar dollar AS di lapangan Badak, Kaltim, S. Yoshimura bersyukur, "bahwa kontrak LNG Indonesia akan menjamin pengadaan jangka panjang yang mantap akan enerji yang bebas polusi". Ucapan orang pertama dari Kansai Electric itu sungguh bukan basa-basi. Jepang yang selama 20 tahun akan dijamin memperoleh 7,5 juta ton setiap tahun itu, rupanya ingin meraup sumber-sumber yang lebih besar lagi. Dan ini tak bisa didapat, karena ada saingan: AS. "Kalangan bisnis Jepang sungguh kaget ketika sekelompok pengusaha AS juga mendapat bahan" kata sebuah sumber Jepang.
Meskipun begitu dari tingkat sebelas Nusantara Building, kalangan JETRO merasa gembira bahwa Jepang menang pacuan LNG dengan angka 2/3. Tentu saja: lapangan Arun yang di Aceh, yang jatuh ke tangan Mobil oil dan kawan-kawannya hanyalah 1/3. Belum diketahui berapa besar tambahan bantuan akan mengalir untuk Indonesia dari proyek Arun yang seluruhnya akan menelan $ 900 juta.
Tapi yang agaknya pasti, perundingan empat mata Soeharto-Tanaka akan mengalirkan tandatangan persetujuan tambahan bantuan Jepang, tidak lebih dari $ 200 juta bagi proyek jaminan yang dinilai berharga 2,1 milyar dollar. Terikat Agak membosankan untuk membeberkan angka-angka yang milyaran dollar itu. Tapi kritik-kritik terhadap sistim dagang yang khas Jakarta-Tokyo itu tidak bisa dihindari.
Dari balik kacamatanya, dalam suatu diskusi panel di DM-UI pekan lalu, panelis Dorodjatun kembali menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud dengan julukan "ijon internasional". "Tentu saja yang saya maksudkan bukan cara ijon yang lazim timbul di sekor pertanian, di mana suatu hasil bumi sudah ditutup dengan jiratan harga sebelum panen", katanya. "Tapi meskipun harga bisa berubah-ubah kita belum apa-apa sudah terikat dengan satu pembeli". Dengan kata lain, cara dagang seperti itu memang membuat sumber-sumber enerji Indonesia yang larisnya bak pisang goreng itu tidak punya banyak pilihan.
Tapi Dirut Pertamina, Jenderal Ibnu, mengemukakan setumpuk alasan kuat yang bersumber pada kelangkaan biaya sendiri untuk mengurusi proyek raksasa itu. Pendapat yang seiring dengan Dirut Pertamina, atau katakanlah Pemerintah, juga datang dari kalangan JETRO: "Secara komersiil, hanya dengan cara kontrak demikian fihak swasta asing -- baik Jepang maupun Amerika -- mau memberikan kredit begitu besar untuk eksploitasi LNG yang sangat mahal itu". Tapi, dari segi komersiil pula, suatu kebiasaan dagang baru yang sudah sekali ditempuh, tidak mustahil akan menular.
Hubungan Tokyo-Jakarta bisa saja melahirkan lebih banyak Jatibarang dan Badak-Badak lainnya. Baik dalam segi enerji maupun bidang-bidang lain. Adakah Pemerintah dalam Pelita II nanti akan masih tetap menerus-kan cara-cara kontrak itu, sepenuhnya berada di tangan para pejabat tinggi sendiri.
Sungguhpun kalangan bisnis Jepang masih beranggapan bahwa dalam hal menetapkan harga minyak dan LNG, Indonesia sudah cukup tinggi memainkan kartu-kartunya, apa yang diucapkan Wakil Menlu Jepang Oshiba pada seorang pejabat tinggi Indonesia merupakan pertanda betapa soalnya terpulang pada Pemerintah di sini.
Seraya mengemukakan politik merangkul dunia (global policy) Jepang, yang enggan tergantung pada negeri tertentu, Oshiba menyebut peranan kawasan Asia Tenggara yang "dalam waktu tidak terlalu lama akan merupakan tempat pelemparan sepertiga dari ekspor Jepang". Dan tentang Indonesia ia berkata: "Lintasan-lintasan dagang yang penting dan Jepang harus meliwati perairan Indonesia". Maksudnya tentu selat Malaka, Lombok ataupun pulau Semangka.
Bagaiaman Indonesia? Kata seorang ahli Indonesia, "dari zaman Liberal, Soekarno sampai Soeharto, Indonesia boleh dibilang belum mempunyai politik luar negeri yang bulat terhadap Jepang". Dan kalaupun ada hubungan seperti sekarang, masih berlangsung secara tidak terkoordinir, melalui macam-macam saluran untuk macam-macam sektor. Dan bidang-bidang yang digarap Jepang tampaknya masih berdiri sendiri-sendiri. Akibatnya, posisi menawar Indonesia tidak didasarkan pada kekayaan nasional secara bulat. Antara sektor dan bidang-bidang yang dihubungi Jepang seperti antara minyak dan kayu -- tidak dikaitkan secara kompak. Agak ruwet, bukan?
TEMPO