Strategi Dua kartu oleh Jepang
Wakil PM Jepang, Takeo Miki boleh disebut berhasil gemilang. Ia membikin negerinya dipandang sebagai sahabat di mata negara-negara minyak Arab. Selama tiga pekan keliling Timur Tengah, diplomasi Miki sedikitnya berhasil melunakkan hati Raja Faisal dan para syeik untuk mengendorkan sumbat minyak sebanyak 10% dari embargo yang 25 sejak September lalu.
Sekalipun begitu, pemerintah dan kaum bisnis masih diliputi perasaan waswas adakah roda industri mereka akan berputar sekencang semula. Dan perasaan seperti itu telah membuat kaum industrialis Jepang bak kucing-kucing yang keselomot ekornya. Tidak kurang dari setengah lusin negara-negara minyak Teluk Persia mencapai kata sepakat di Teheran, 23 Desember lalu, untuk menaikkan harga minyaknya dua kali lipat dari harga yang dipasang pertengahan Oktober lalu. Tak ayal lagi, pertemuan di Teheran telah membuat para industrialis Jepang yang baru saja menarik napas sedikit lega, merasa ditimpuk punggungnya. Dan PM Tanaka agaknya tahu bahwa pengendoran aliran minyak Arab itu takkan bisa membalikkan arah ekonomi Jepang yang sudah ditimpa gejala resesi sejak tahun lalu. Ditambah dengan keparahan yang terjadi sebelumnya -- seperti dua kali Nixon Shokku -- ekonomi Jepang bagaimanapun tak akan pulih seperti semula. Meskipun ada sementara ramalan pesimis di Tokyo yang sampai bicara tentang pertumbuhan nol bagi ekonomi Jepang dalam tahun 1974 ini. Agaknya yang lebih masuk akal adalah seperti dikeluhkan Profesor Toru Yano.
Meramu berbagai ramalan kaum cendekia dan bisnis Jepang, ahli politik dari Universitas Kyoto itu lebih setuju dengan pendapat yang memperkirakan kemunduran ekonomi Jepang kalau toh terjadi akan berbalik seperti di tahun 1972. Kalau benar begitu, kemunduran yang dua tahun itu memang tidak separah yang dikira semula.
Namun meskipun Tanaka sebenarnya enggan untuk berkeliling di kawasan Asia Tenggar yang panas, bukan mustahil kunjungannya ke Jakarta yang untuk pertama kalinya ini akan punya arti tersendiri.
Pembicaraan yang kabarnya memakan 3 jam dengan Presiden Soeharto tidak terlepas dari dua soal pokok: Minyak dan gas LNG. Balasan Yahudi Benar bahwa minyak yang masuk ke Jepang 80% lebih berasal dari negara-negara penghasil minyak Arab, Teluk Persia plus harga untuk menyalakan 90O pembangkit tenaga listrik Jepang. Sedangkan andil ladang-ladang minyak di Indonesia yang sebagian besar dialirkan ke Jepang paling banter mewakili 16% saja dari seluruh kebutuhan.
Tapi kalau saja orang mengingat betapa hebohnya Amerika ketika aliran minyak Arab sekitar 8% diputus sama sekali, bisa dibayangkan bahwa andil minyak Indonesia yang meskipun secuil itu agaknya sulit untuk dicari penggantinya. Lagipula hubungan baru Jepang dengan Timur Tengah -- kendati belum sampai pada keretakan diplomatik dengan Israel -- tak urung menimbulkan kepusingan lain.
Koresponden Far Eastern Economic Review, Koji Nakamura melaporkan dari Tokyo akan besarnya kemungkinan masyarakat Yahudi di Amerika sampai Eropa akan mengambil tindakan balasan. "Beberapa perusahaan dagang dan lembaga-lembaga keuangan mengatakan bahwa nasabah-nasabah keturunan Yahudi mengemukakan rasa tidak puas yang sengit terhadap sikap Jepang yang pro Arab", tulis Nakamura.
Tidak dikatakan bagaimana perasaan mendongkol lingkaran Israel itu akan mewujudkan balasannya di bidang bisnis. Tapi ada dilaporkan bahwa porsi minyak Iran dan Indonesia yang sebenarnya diperuntukkan bagi Jepang, diam-diam kabarnya ada yang dibelokkan ke Amerika. Benar tidaknya sinyalemen seperti itu bagi Indonesia barangkali hanya Caltex yang mafhum, sebagai penyedot sejuta barrel sehari minyak di sini.
Yang pasti, Jepang memang tidak seberuntung atau seberani Amerika dalam membenamkan modalnya di sektor eksplorasi minyak. Kalau Aspri Presiden Soedjono Humardhani, beranggapan merasuknya modal Jepang ke Indonesia disebabkan keberanian mengambil risiko ketimbang banyaknya pengusaha asing lainnya, pendapat seperti itu jelas tidak berlaku bagi minyak bumi.
Sesungguhnya lebih kena kalau Jepang disebut suka memilih bidang-bidang yang rada "enak" seperti industri-industri barang konsumsi, meskipun benar lebih agresif sikapnya dari yang lain.
Jepang misalnya ternyata tidak kuasa menggali minyak di dasar laut. Japan Petroleum Exploration Company (Japex) yang pernah bertahun-tahun mencoba mengail ladang hitam Atacca, akhirnya toh putus asa. Ia menyerahkannya kepada Gulf dan Union Oil dari Amerika, yang di pertengahan tahun 1971 berhasil memompa minyak dari ladang Atacca di Kalimantan Timur, persis seminggu setelah kontrak Japex dijual (TEMPO 20 Mei 1972) .
Dengan Japex atau C. Itoh ataupun maskapai Kyushu di pulau Masalembu, Kalimantan Selatan, andil Jepang di berbagai eksplorasi lepas pantai sampai sekarang belum bisa disebut bertaraf besar.
Tapi kalahnya Jepang dibandingkan maskapai-maskapai Amerika, tidak dengan sendirinya berarti bahwa kepentingan Jepang itu kecil artinya dalam dunia perminyakan di Indonesia. Di Dumai, kilang-kilang minyak Pertamina yang menjulang tinggi adalah berkat kerjasama dengan Sumitomo. Rencana pendirian stasiun minyak raksasa di Merak kalau jadi kelak, merupakan hasil trio Pertamina, Sumitomo dan Santa Fe dari Amerika.
Dan kalau di suatu pagi aliran minyak Jepang yang datang dari Timur Tengah jadi disuling di pangkalan Balam -- proyek idaman Pertamina yang direstui Presiden Soeharto -- nama Nissho Iwai sebagai kontraktor multinasional tidak boleh dilupakan, di samping kontraktor Pacific Betchel International dari AS.
"Sistim Ijon" Masih banyak lagi untuk disebutkan tangan-tangan perusahaan Jepang yang masuk dalam dunia perminyakan di Indonesia. Tapi yang rupanya belum dikenal AS dalam suatu urusan mencampur minyak di sini, adalah jaminan Jepang untuk memperoleh minyak Indonesia selama 10 tahun. Dan jaminan yang bersumber dari ladang Pertamina di Jatibarang itu, adalah dengan imbalan kredit 200 juta dollar AS untuk usaha perluasan Pertamina dengan syarat-syarat selunak kredit IGGI.
Para pengritik di sini menyebabkan pemberian tambahan kredit dengan bahan minyak itu sebagai "sistim ijon". Meskipun dalam hal harga, seluruh minyak ladang Jatibarang yang dikirim ke Jepang tunduk pada patokan 10,80 dollar AS per barrel.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, staf ahli LPEM-UI, menganggap cara berdagang seperti itu merusak kedudukan minyak Indonesia yang memiliki posisi seller's market. Dengan kata lain, posisi ekspor minyak Indonesia, yang sesungguhnya memiliki pasaran yang mono-polistis sudah ditembus oleh Jepang.
Ini berlaku sampai kekayaan minyak di Jatibarang, yang kabarnya subur itu, selesai melunaskan jaminannya sebesar 50 juta barrel kepada Japan Indonesian Oil Company (JIOC). JIOC ini merupakan maskapai kongsi antara Pertamina, industri mobil Toyota, Japan Oil, Tokyo Electric dan lain-lain, dan menjadi kongsi minyak Pertamina-Jepang kedua di samping Far East Oil Company yang memang terkenal sebagai penampung minyak Indonesia. Kalangan Jepang sendiri pada mulanya berpendapat bahwa kontrak semacam itu tidak banyak artinya. Bukankah minyak Arab sampai Persia plus 84% dari hasil minyak Indonesia deras mengalir ke kilang-kilang penyulingan di Jepang? Tapi, ketika Raja Faisal dari Arab-Saudi dan seperangkat jirannya mendadak berbalik melancarkan tindakan embargo tanpa diskriminasi (tidak lama setelah pecahnya konflik Arab-Israel),
Pemerintah di Tokyo tentu mulai terbuka matanya betapa pentingnya punya jaminan minyak selama 10 tahun. "Kalau tadinya Sato hanya ingin bermesra-mesra dengan Soeharto untuk menyambut kredit jaminan minyak, kini Tanaka tentu ingin meluaskan cara-cara seperti itu", kata seorang kontraktor dari California. "Minyak anda yang sungguhpun kecil sungguh bagaikan gadis manis yang jadi rebutan". Gadis manis atau janda muda, si Hitam yang makin menonjol ibarat logam mulya memang sudah waktunya bersikap "jual mahal".
Atau, meminjam istilah Dr Sadli, "merupakan kartu truf". Nah, kalau demikian halnya, sudah tibalah saatnya pemegang-pemegang kartu di Indonesia bermain lebih gigih? "Akhir-akhir ini Pemerintah mulai sadar akan posisi bahan mentah Indonesia yang makin penting". Dan Menteri Pertambangan merasa tidak keberatan kalau mulai sekarang Pemerintah mulai menjalankan seleksi yang lebih ketat terhadap masuknya modal asing.
Tapi sebelum kesadaran yang ada itu terujud, kisah lain yang mirip-mirip dengan kontrak gaya Jati-barang, berulang kembali. Dan sasaran yang dipilih kali ini jatuh pada itu gas alam cair alias LNG (liquified peroleum gas) Bendera Di Bulan Mengapa pilihan Jepang jatuh pada LNG tidak sulit untuk ditebak. sejak musim semi 1971, Jepang sudah mengimpor bahan yang berharga itu dari Alaska.
Mudah difahami mengapa Jepang merasa tidak aman kalau hanya bergantung dari sumber AS. Sebab, negeri ini mulai mengerahkan segala daya dan daya untuk berdikari dalam sumber minyak. Dan jelas tidak begitu suka kalau ada tangan luar ikut menyentuhnya. Amerika mengenai proyek Manhattan yang mampu dalam sekejap mengubah Hiroshima menjadi neraka, lalu proyek Kennedy yang bagaimanapun berambisi untuk menancapkan bendera pertama di Bulan.
Maka semacam proyek yang memacu sumber-sumber enerji di kandang sendiri sudah disepakati Gedung Putih, disertai biaya yang melimpah. Tidak mengherankan bila Jepang yang luka parah akibat krisis minyak ang makin menggila harganya itu, makin melirik ke sumber-sumber enerji di Indonesia .
Dan selain melirik Jepang mendapat Presiden The Kansai Electric Power Co. di pagi
3 Desember lalu menyampaikan kata-kata "domo arigato gozaimasuta" atas nama para konsumen LNG di Jepang.
Sebagai salah satu dari hampir selusin kontraktor yang kabarnya berhasrat membenamkan 2,1 milyar dollar AS di lapangan Badak, Kaltim, S. Yoshimura bersyukur, "bahwa kontrak LNG Indonesia akan menjamin pengadaan jangka panjang yang mantap akan enerji yang bebas polusi". Ucapan orang pertama dari Kansai Electric itu sungguh bukan basa-basi. Jepang yang selama 20 tahun akan dijamin memperoleh 7,5 juta ton setiap tahun itu, rupanya ingin meraup sumber-sumber yang lebih besar lagi. Dan ini tak bisa didapat, karena ada saingan: AS. "Kalangan bisnis Jepang sungguh kaget ketika sekelompok pengusaha AS juga mendapat bahan" kata sebuah sumber Jepang.
Meskipun begitu dari tingkat sebelas Nusantara Building, kalangan JETRO merasa gembira bahwa Jepang menang pacuan LNG dengan angka 2/3. Tentu saja: lapangan Arun yang di Aceh, yang jatuh ke tangan Mobil oil dan kawan-kawannya hanyalah 1/3. Belum diketahui berapa besar tambahan bantuan akan mengalir untuk Indonesia dari proyek Arun yang seluruhnya akan menelan $ 900 juta.
Tapi yang agaknya pasti, perundingan empat mata Soeharto-Tanaka akan mengalirkan tandatangan persetujuan tambahan bantuan Jepang, tidak lebih dari $ 200 juta bagi proyek jaminan yang dinilai berharga 2,1 milyar dollar. Terikat Agak membosankan untuk membeberkan angka-angka yang milyaran dollar itu. Tapi kritik-kritik terhadap sistim dagang yang khas Jakarta-Tokyo itu tidak bisa dihindari.
Dari balik kacamatanya, dalam suatu diskusi panel di DM-UI pekan lalu, panelis Dorodjatun kembali menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud dengan julukan "ijon internasional". "Tentu saja yang saya maksudkan bukan cara ijon yang lazim timbul di sekor pertanian, di mana suatu hasil bumi sudah ditutup dengan jiratan harga sebelum panen", katanya. "Tapi meskipun harga bisa berubah-ubah kita belum apa-apa sudah terikat dengan satu pembeli". Dengan kata lain, cara dagang seperti itu memang membuat sumber-sumber enerji Indonesia yang larisnya bak pisang goreng itu tidak punya banyak pilihan.
Tapi Dirut Pertamina, Jenderal Ibnu, mengemukakan setumpuk alasan kuat yang bersumber pada kelangkaan biaya sendiri untuk mengurusi proyek raksasa itu. Pendapat yang seiring dengan Dirut Pertamina, atau katakanlah Pemerintah, juga datang dari kalangan JETRO: "Secara komersiil, hanya dengan cara kontrak demikian fihak swasta asing -- baik Jepang maupun Amerika -- mau memberikan kredit begitu besar untuk eksploitasi LNG yang sangat mahal itu". Tapi, dari segi komersiil pula, suatu kebiasaan dagang baru yang sudah sekali ditempuh, tidak mustahil akan menular.
Hubungan Tokyo-Jakarta bisa saja melahirkan lebih banyak Jatibarang dan Badak-Badak lainnya. Baik dalam segi enerji maupun bidang-bidang lain. Adakah Pemerintah dalam Pelita II nanti akan masih tetap menerus-kan cara-cara kontrak itu, sepenuhnya berada di tangan para pejabat tinggi sendiri.
Sungguhpun kalangan bisnis Jepang masih beranggapan bahwa dalam hal menetapkan harga minyak dan LNG, Indonesia sudah cukup tinggi memainkan kartu-kartunya, apa yang diucapkan Wakil Menlu Jepang Oshiba pada seorang pejabat tinggi Indonesia merupakan pertanda betapa soalnya terpulang pada Pemerintah di sini.
Seraya mengemukakan politik merangkul dunia (global policy) Jepang, yang enggan tergantung pada negeri tertentu, Oshiba menyebut peranan kawasan Asia Tenggara yang "dalam waktu tidak terlalu lama akan merupakan tempat pelemparan sepertiga dari ekspor Jepang". Dan tentang Indonesia ia berkata: "Lintasan-lintasan dagang yang penting dan Jepang harus meliwati perairan Indonesia". Maksudnya tentu selat Malaka, Lombok ataupun pulau Semangka.
Bagaiaman Indonesia? Kata seorang ahli Indonesia, "dari zaman Liberal, Soekarno sampai Soeharto, Indonesia boleh dibilang belum mempunyai politik luar negeri yang bulat terhadap Jepang". Dan kalaupun ada hubungan seperti sekarang, masih berlangsung secara tidak terkoordinir, melalui macam-macam saluran untuk macam-macam sektor. Dan bidang-bidang yang digarap Jepang tampaknya masih berdiri sendiri-sendiri. Akibatnya, posisi menawar Indonesia tidak didasarkan pada kekayaan nasional secara bulat. Antara sektor dan bidang-bidang yang dihubungi Jepang seperti antara minyak dan kayu -- tidak dikaitkan secara kompak. Agak ruwet, bukan?
TEMPO
Selasa, 04 Oktober 2011
Taktik Ijon Ala Jepang ( Bagian 2 )
Selasa, 13 September 2011
Kapitalisme, Neo Kolonialisme Jepang ( Bagian 1 )
Menyambut Sang Tamu
KAKUEI Tanaka yang bertubuh gempal itu mempunyai alasan pribadi untuk enggan ke Asia Tenggara.Ia tidak tahan berkeringat. Tapi anak petani Niigata yang kini memimpin Jepang itu terpaksa melepaskan alasan itu. Dari mereka yang sibuk mengurusi soal Jakarta-Tokio sudah tentu ia tahu: hubungan Jepang dengan Indonesia dan Asia Tenggara tak akan baik tanpa ia mencucurkan keringat.
Beberapa kejadian mendorongnya ke situ. Jepang yang aman di bawah payung nuklir Amerika tidak bermimpi tentang seorang Kissinger yang diam-diam muncul di Peking.
Hasil kerja ahli hubungan internasional dari Harvard ini membawa Presiden Nixon ke Peking. Dan Jepang merasa sangat terluka. Takut ketinggalan kereta, Tanaka juga bersalaman dengan Mao Ce-tung di akhir bulan September 1972.
Orang mengira bahwa ketawanya yang lebar di depan "Bapak" RRT itu mungkin karena ia membayangkan sebuah pasar besar: ratusan juta pembaca "buku merah" yang bakal diserbu barang Jepang.
Perhitungan kemudian menunjukkan bahwa bahkan di tahun 1980 nanti, ekspor Jepang ke Cina masih jauh di bawah jumlah yang terjual ke Asia Tenggara sekarang.
Dirjen Penerangan Deplu Jepang buru-buru keluarkan keterangan: "Hubungan Jepang-Cina lebih bersifat politis". Tak diduga sebelumnya bahwa kunjungan ke RRT, yang lebih mencerminkan kehendak kaum usahawan (pendudug Tanaka untuk naik menggantikan Sato pada bulan Juli 1972) hasilnya adalah justru sebuah politik luar negeri bagi Jepang. Negeri ini sejak lama cuma asyik mengekor Amerika. Kini saatnya untuk tidak lagi begitu. Ketika Tanaka masih berada di Peking koran-koran Jepang terus-menerus menyiarkan rasa cemas Asia Tenggara terhadap Jepang. Kecaman-kecaman mulai timbul terhadap ekspansi ekonomi Jepang di Asia Tenggara.
Dan kenyataan kawasan ini memang tidak nampak -- seperti tersisihkan -- di antara gambar Mao dan Tanaka yang muncul di koran-koran. Semangat Bandung Atau Tokio Semua itu dengan saksama juga diketahui oleh penduduk Jepang melalui koran, radio dan tv mereka. Pulang dari Peking, Tanaka mulai dihadapkan kepada soal Asia Tenggara.
Surat kabar terkemuka Jepang, Mainichi, dalam edisi pertama di bulan Oktober 1972 menulis di tajuk-rencananya tentang suatu diplomasi Asia, dalam mana "Asia Tenggara harus mendapat perhatian Jepang". Beberapa hari sebelumnya, Menteri Perindustrian Nakasone telah pula muncul. Ia bicara soal gagasan memajukan hubungan dengan negara-negara Asia, "dengan menghidupkan kembali semangat Bandung" . Semangat Bandung atau semangat Tokio, bagi Tanaka sendiri nampaknya tak jadi soal. Ia sibuk berdiplomasi ke berbagai penjuru dunia, tapi Asia Tenggara belum juga mendapat kunjungan.
"Asia Tenggara memang kurang mendapat perhatian Jepang", kata ahli Asia Tenggara Prof. Toru Yano dari Universitas Kyoto.
Tak mengherankan Tokio sanggup mengorek banyak untung dari bagian dunia yang lain.
Jepang sementara itu memang punya hak untuk merasa setaraf dengan negeri-negeri besar dan negeri-negeri maju. Amerika dan Eropa lebih dekat ke hatinya. Maka para pengusaha mereka datang kemari tanpa perlu tahu soal-soal yang bisa jadi merepotkan mereka pada suatu hari: protes kemarahan di Asia Tenggara.
Hari yang kurang menyenangkan itu nampaknya sudah terbit. Tapi tidak sepenuhnya karena ketidak-tahuan orang Jepang. Berbagai sumber mengatakan bahwa kenikmatan bagi orang Jepang di Republik Indonesia ini memang tak aneh. Masuknya mereka kemari tidak ruwet. "Hanya sejumlah kecil orang tahu tentang Indonesia di Jepang,
dan orang itulah yang memainkan hubungan kedua negara melalui sejumlah kecil orang penting di Jakarta", kata Prof. Yang, yang kini menjadi penasehat Deplu Jepang.
Karena tidak melalui saluran birokratis yang lazim itulah dengan nyaman pedagang-pedagang Jepang pulang pergi dari ratusan kamar mewah Presiden Hotel milik JAL,
persis di seberang Kedutaan Besar mereka di Jakarta. Konco Jepang Mula-mula cuma kritikan melalui koran-koran Jakarta saja yang ada. Lama-lama muncul juga demonstrasi. Aksi terakhir ini tak bisa dipisahkan dari jatuhnya rezim Kittikachorn di Bangkok. Pemerintahan militer yang terusir itu dianggap konco Jepang.
Mereka dituduh jadi sangat kaya oleh kebijaksanaan yang terlalu banyak menguntungkan Jepang.
Tapi tak hanya itu masalah yang dihadapi Tanaka. Jepang justru sedang gundah oleh krisis minyak yang melumpuhkan industri Jepang. Inflasi konon mencapai tingkat 25 persen. Popularitas partai Liberal Demokrat (LDP) yang memerintah juga makin merosot. Enam kursi walikota yang diduduki LDP jatuh ke tangan partai-partai oposisi. Tapi sebelum semua itu, Tanaka pribadi telah terpukul oleh serangan gencar terhadap gagasannya menyebarkan perindustrian Jepang ke selumh pelosok Jepang.
"Tanaka nampaknya mengikuti kebijaksanaan pemerintah sebelumnya yang lebih mementingkan GNP dan melupakan soal polusi", komentar harian Yominri pada tajuk rencananya terbitan 26 September 1972. Dan gagasan mahal Tanaka itu akhirnya memang diam-diam dipeti-eskan.
Sebelum "gagasan menyebarkan polusi itu" -- seperti dikatakan orang Jepang sendiri --, kucing-kucing di Minamata sudah edan kena racun yang mengotori makanan.
Dan 279 petani menderita sakit. Yang tidak bisa menderita lebih lama terpaksa mati: sejumlah 57 orang. Itu terjadi di tahun 1956, akibat polusi air oleh bahan kimia buangan pabrik Chisso.
Malapetaka berikutnya menyerang propinsi Royama ketika dokter Hagino tiba-tiba diserbu penduduk yang mendadak sakit di bawah pusar dan sekujur tulang linu-linu.
Sementara penderita makin parah juga, foto sinar X menunjukkan 72 patah tulang dalam tubuh pasien, akibat bahan kimia cadmium yang telah meracuni sungai Juntsu.
119 petani kemudian meninggal oleh polusi yang diakibatkan oleh pabrik kimia milik Mitsui di situ.
Kisah-kisah yang lebih mengerikan di sekitar polusi ini tersedia cukup banyak dan lebih mengerikan di Jepang. Misalnya, orang Jepang yang warna kulitnya kuning langsat itu bisa melahirkan bayi yang berkulit hitam. Dan ini adalah akibat keracunan alat kimia PCB yang berjangkit via makanan yang disantap ayam sebelum gilirannya dihidangkan kepada manusia.
Kota Tokyo sendiri pernah mendadak terserang awan gelap di udara cerah musim panas 18 Juli 1972. Ternyata itu adalah asap racun yang keluar dari knalpot mobil yang menggumpal setelah bercampur dengan sinar ultra violet matahari. Kata Dr Kaino, direktur lembaga penyelidikan ekologi Tokyo: "Kalau begini terus penduduk Tokyo terpaksa harus pakai topeng gas".
Kota Terakhir Walhasil, tanah air orang Jepang sudah terlalu pengab. Maka mereka tak saja berfikir mengenai pemasaran hasil industri dan pencarian bahan baku.
Juga ekspor pabrik-pabrik yang tentu bisa dianggap juga ekspor polusi. Dan itu sudah mulai mereka lakukan: pabrik petrokimia di Muangthai, assembling mobil ke Indonesia. Berbagai soal itulah -- kecaman terhadap ekspansi ekonomi Jepang di Asia Tenggara, krisis bahan bakar, inflasi dan polusi yang mengintai jiwa bangsa Jepang -- yang secara bersama mengendap di kepala Tanaka, setahun.
Lalu ia memulai muhibah Asia Tenggaranya tanggal 7 bulan ini di Manila. Jakarta, kota terakhir dan terlama yang dikunjungi Tanaka dalam muhibahnya, jauh sebelumnya sudah berkemas dengan berbagai sikap dan pendapat terhadap Jepang. Sekelompok mahasiswa malahan menolak kedatangan Tanaka. Tapi seperti biasanya Menlu Adam Malik muncul dengan sikap ketimurannya yang meminta agar tamu diterima secara sepatutnya meskipun ia ada juga mengeritik Jepang.
Datangnya di Jakarta jatuh pada malam hari. Ini sedikitnya untuk mengurangi kemungkinan Tanaka bersibuk dengan para mahasiswa Indonesia, yang sejak lama nampaknya tidak mau kalah dengan rekan-rekannya di Bangkok. Sudah sejak beberapa minggu polisi anti huru-hara disiap-siagakan. Beberapa tokoh demonstran, antara lain Louis Wangge dan Yulius Usman, sudah ditahan. Tapi itu tak berarti mengurangi ketegangan. Dosen hubungan inter-nasional dari UI Juwono Sudarsono, misalnya meskipun tidak menolak kedatangan Tanaka, ia tidak melihat manfaat dari kunjungan itu. "Ia sebenarnya tidak perlu datang ke mari. Jepang sudah cukup kuat di sini".
Dan kuatnya Jepang menurut dosen yang dekat dengan kegiatan-kegiatan mahasiswa ini bukan saja dalam bidang ekonomi, tapi juga politik. Melalui "saham-saham yang perusahaan yang diberikan Jepang kepada pejabat-pejabat Indonesia", katanya.
Nada komentar seperti itu anehnya justru lebih keras melalui mulut seorang pejabat tinggi Negara. Ia adalah Menteri Mintareja. "Pedagang-pedagang Jepang yang bekerja sama dengan cukong Cina telah melampaui tata kerama dengan menyogok pejabat-pejabat Indonesia dengan wanita-wanita dan lipatan uang", begitu Mintareja sebagai yang dikutip harian Nusantara edisi 14 Desember yang lalu. "Ya, Sudahlah . . .
" Kecaman terbuka ke alamat Jepang sebelumnya memang berkali-kali muncul dalam bentuk demonstrasi ke Kedutaan Besar jalan Thamrin, Toyota Astra maupun puncak wisma Nusantara yang menjunjung lampu reklame Sanyo dan loyota. Lampu-lampu reklame raksasa itu akhir-nya memang diturunkan. Tapi seorang pengusaha Jepang sempat berkata -- mungkin untuk cuci tangan-bahwa bertahannya lampu itu di sana ialah atas jaminan seorang pejabat tinggi Indonesia juga.
Begitu kesalnya fihak Jepang terhadap kritik dan kecaman itu sampai-sampai Yoneda, atase pers Jepang di Jakarta, berkata: "Ya, sudahlah, kalau memang kami tidak disenangi di sini, kami akan pergi". Memang mudah mengatakan itu.
Tapi modal Jepang yang sudah melampaui modal AS (750 juta dollar) itu pasti dengan segala daya akan bertahan terus di negeri yang dengan mudah mereka terobos ini.
"Pengusaha-pengusaha Jepang di Jakarta ini senang dan betah sekali", kata Toru Yano. "Karena moral pemimpin kita mudah dibeli", sambut seorang mahasiswa secara berapi-api pada suatu diskusi mengenai modal asing.
"Soalnya kita ini tidak punya suatu kebijaksanaan yang jelas terhadap Jepang",
komentar seorang peninjau ekonomi. Tambahnya pula: "Hubungan Tokio-Indonesia amat semerawut dan melalui macam-macam saluran tanpa koordinasi. Sektor minyak Jepang punya lobbi sendiri, sektor kayu lain. perikanan lain, perkayuan lain pula.
Dan semua ini melemahkan posisi tawar menawar kita terhadap Jepang".
Seorang bekas politikus yang menjadi pengusaha, melihat kerugian-kerugian yang kita derita sebagai akibat ketidaksiapan kita menghadapi Jepang. "Kerugian itu disebabkan oleh pertentangan antar kita yang efeknya terasa sampai pada perebutan pengaruh, sampai juga di berbagai kedutaan kita. Pertentangan dan perebutan pengaruh di tingkat atas itu nampaknya makin menjadi-jadi, sehingga sulit untuk berbesar hati menghadapi Jepang", katanya. Ini disetujui oleh Juwono Sudarsono. "Tapi itulah memang tragedi-nya negara-negara yang sedang berkembang", katanya.
Lagi Prof. Yano, hal itu juga disebabkan oleh sikap pemimpin-pemimpin Indonesia yang lebih mendahulukan kepentingan pribadi dari pada kepentingan nasional. Kami Cuma Tamu Kecaman-kecaman yang ditujukan kepada ulah modal Jepang di Indonesia itu nampaknya berangsur-angsur beralih ke alamat pejabat-pejabat Indonesia sendiri.
Berbagai demonstrasi, terakhir terjadi minggu lalu di depan kantor Golkar di Jakarta, secara langsung menyebut nama Mayjen. Soedjono Hoemardani. Aspri Presiden ini memang sering dianggap sebagai penghubung utama antara modal Jepang dan pemerintah Indonesia -- mungkin karena tugasnya (Baca Wawancara dengan Soedjono Hoemardani).
Sementara itu peranan pejabat pejabat Indonesia diakui oleh kalangan Jepang. Setidaknya bukan Jepang saja yang salah menurut mereka. Kata Isamu Noto, direktur Jetro di Jakarta: "MITI tidak punya wewenang terhadap perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia. Karena itu kami kurang mengerti kenapa mahasiswa Indonesia berdemonstrasi ke Kedubes Jepang atau kantor perusahaan-perusahaan Jepang.
Tanggung jawab ada pada pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah. Kami cuma tamu yang masuk secara resmi".
Lepas dari itu, orang tak bisa menganggap sepi usaha kalangan pemerintah Indonesia untuk menemukan modus yang baik bagi hubungan Indonesia-Jepang. Dalam rangka itulah harus ditafsirkan seminar yang bulan lalu diselengarakan Yayasan Proklamasi dan dihadiri oleh pejabat-pejabat teras pemerintah Indonesia -- termasuk Jend. Sumitro. Mayjen Ali Murtopo, Mayjen Hoemardani, Letjen. Ibnu Sutowo -- tentang "Hubungan Jepang-Indonesia di tahun tujuhpuluhan".
Memang hasilnya mungkin tidak cepat bisa dirasakan oleh orang banyak yang keliwat sadar terhadap ekspansi modal Jepang. Tapi setidaknya seminar itu bisa memperlihatkan keinginan para pengambil keputusan tentang hubungan kedua negara.
Dan tidak semua pejabat bersikap lunak. Komentar Prof. Yano yang juga peserta seminar terhadap prasaran Jenderal Sumitro waktu itu: "Keras". Itu tidak berarti bahwa pemerintah Indonesia bakal tidak ramah terhadap kunjungan Tanaka.
Walaupun mengenai prioritas pokok-pokok pembicaraan pada mulanya ada perbedaan pendapat Berita-berita yang sampai ke TEMPO
menunjukkan pentingnya pertemuan Tanaka-Soeharto tanggal 15 Januari ini. Minyak bumi jadi topik pembicaraan, utama, tapi gas alam juga tidak kurang penting
sementara soal perkayuan tidak pula dilupakan. Fihak Jepang kabarnya juga akan membicarakan tentang kerja sama kebudayaan. "Pusat kebudayaan Jepang sudah pasti akan dibangun di Jakarta", kata seorang pejabat kedutaan di sini.
Tapi fihak Indonesia kabarnya akan memajukan gagasan Ali Murtopo tentang kerja sama Asia Pasifik dengan Sidney, Jakarta dan Tokio sebagai porosnya (lihat: Wawancara dengan Dr. Yano & Lie Tek Tjeng). Orang-orang Jepang menafsirkan kelahiran gagasan Ali Murtopo itu diilhami oleh gagasan The New Atlantic Charter-nya Kissinger.
Menurut sebuah sumber Jepang, Ali Murtopo sendiri telah menjelaskan gagasan tersebut kepada Tanaka ketika Aspri Presiden itu berada di Tokio tempo hari.
Jepang cenderung untuk menolak gagasan itu, yang sudah merupakan gagasan Pemerintah Indonesia. Jurubicara Asia Tenggara Tak semua kalangan Indonesia sendiri sepakat dengan gagasan itu. Sebab di dalamnya ada sikap yang dianggap mengabaikan kepentingan Indonesia dalam solidaritas dengan negeri-negeri miskin.
Tapi toh penolakan Jepang terhadap gagasan itu dinilai sebagai suatu usaha Tokio untuk melemahkan posisi politis Indonesia sebagai juru-bicara utama Asia Tenggara menghadapi Jepang.
Bagi Jepang meng-hadapi negara-negara Asia Tenggara secara terpisah-pisah, tidak lewat Indonesia terang memang lebih mudah bagi Jepang. Lagi pula pada suatu konperensi dengan menteri-menteri dari berbagai negara Asia Tenggara di Tokio menjelang akhir tahun silam. Menlu Jepang Ohira nampak ingin jadi juru bicara bagi kepentingan Asia Tenggara. Tapi ditolak. Semua itu sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya jinak dan patuh di depan Matahari Terbit.
Soalnya kemudian: dapatkah sikap yang lebih teguh itu ditunjukkan, misalnya dalam soal penanaman modal? Pertanyaan ini merembet di banyak kepala orang Indonesia.
Dan untuk menjawabnya nampaknya tidak sukar. Karena pengusaha Jepang sendiri sebenarnya selalu siap menerima perubahan-perubahan peraturan penanaman modal.
"Mereka tahu betul bahwa cara-cara yang mereka tempuh sekarang ini amat merugikan Indonesia", kata Dr The Kian Wie, ahli ekonomi dari LEKNAS. Tak kurang penting ialah perkara kontrak penjualan minyak dan gas alam Indonesia kepada Jepang.
Kontrak minyak (April 1972) dan kontrak gas alam cair alias LNG (Nopember 1973) dengan Tokio sering dianggap merugikan Indonesia.
Menurut Pengritiknya, kedua bahan bakar yang amat penting itu dipisahkan dari bahan mentah kita, pada hal kalau dijual secara bersama posisi tawar menauar kita akan jadi lebih besar. Tapi tentu saja tergantung juga bagaimana caranya mengatur penjualan dan harga kedua bahan penting itu.
Kepada TEMPO, Toru Yano dengan yakin berkata: "Dalam soal gas alam, Indonesia menang". Alhamdulillah. Tapi seperti dalam hal-hal lain, kemenangan itu masih harus ditunggu. "Semua itu tergantung pemerintah kita. Kitalah yang harus memutuskannya, bukan mereka", kata Dr Lie Tek Tjeng. Dan dalam melakukan tawar menawar itu, kalau pemerintah tidak lupa letak Indonesia yang strategis, tentulah Indonesia bisa tahan harga -- paling tidak menurut jalan fikiran Lie Tek Tjeng.
Tapi meskipun Soeharto-Tanaka berhasil mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah fihak, persoalan belum selesai. Selain sikap Pemerintah Indonesia, sikap dan cara kerja orang Jepang itu sendiri banyak menyusahkan mereka.
Peristiwa Sekolah Jepang yang menghina orang Indonesia atau pemecatan sewenang-wenang tanpa pesangon 17 karyawan dari 11 perusahaan Jepang
akhir tahun silam adalah contoh yang cukup menyolok.
Demikian pula pilihan terhadap orang Cina sebagai pasangan dagang "jelas memperburuk wajah Jepang di mata kebanyakan orang Indonesia meskipun hal itu secara ekonomis amat menguntungkan", kata Yuwono Sudarsono. Apakah itu tidak difikirkan oleh orang-orang Jepang? "Tidak sejauh itu mereka" jawab Yano. Sambungnya pula: "Bagi mereka selama Soedjono Hoemardani masih berkuasa mereka akan tetap merasa aman".
Risiko Psikologis Bagaimanapun keterlibatan Jepang di Indonesia dan Asia Tenggara yang makin membesar memang suatu kali tidak bisa semuanya tergantung pada seorang "bapak". Lagi pula negara-negara lain juga banyak yang berkepentingan -- politis maupun ekonomis -- di sini. Mungkin menyadari inilah maka salah satu nasehat Prof. Yano kepada Tanaka adalah agar segera memanfaatkan Departemen Luar Negeri kedua negara dalam hubungan Indonesia-Jepang dan meng-hindarkan cara yang tidak melalui Deplu.
Dalam rangka ini pulalah maka kepada TEMPO, Yano menyatakan kekhawatirannya akan tingkah laku Tanaka yang kadang aneh. "Saya berharap kali ini Tanaka tidak bertindak yang bukan-bukan. Dia ini orang susah dan sering sekali membingungkan Deplu Jepang" kata Yano. Tapi bagi Juwono Sudarsono kunjungan Tanaka ke Jakarta sekarang ini adalah suatu risiko psikologis bagi Soeharto yang terpaksa harus menelan dakwaan sebagai sangat tergantung pada Jepang. Dakwaan ataupun fitnahan waktu nampaknya belum seluruhnya habis. Perbaikan masih bisa dilakukan untuk keuntungan Indonesia. Menjelang akhir pekan ini sebagian dari sejarah Indonesia sedang ditentukan di muka tuan Tanaka.
TEMPO
KAKUEI Tanaka yang bertubuh gempal itu mempunyai alasan pribadi untuk enggan ke Asia Tenggara.Ia tidak tahan berkeringat. Tapi anak petani Niigata yang kini memimpin Jepang itu terpaksa melepaskan alasan itu. Dari mereka yang sibuk mengurusi soal Jakarta-Tokio sudah tentu ia tahu: hubungan Jepang dengan Indonesia dan Asia Tenggara tak akan baik tanpa ia mencucurkan keringat.
Beberapa kejadian mendorongnya ke situ. Jepang yang aman di bawah payung nuklir Amerika tidak bermimpi tentang seorang Kissinger yang diam-diam muncul di Peking.
Hasil kerja ahli hubungan internasional dari Harvard ini membawa Presiden Nixon ke Peking. Dan Jepang merasa sangat terluka. Takut ketinggalan kereta, Tanaka juga bersalaman dengan Mao Ce-tung di akhir bulan September 1972.
Orang mengira bahwa ketawanya yang lebar di depan "Bapak" RRT itu mungkin karena ia membayangkan sebuah pasar besar: ratusan juta pembaca "buku merah" yang bakal diserbu barang Jepang.
Perhitungan kemudian menunjukkan bahwa bahkan di tahun 1980 nanti, ekspor Jepang ke Cina masih jauh di bawah jumlah yang terjual ke Asia Tenggara sekarang.
Dirjen Penerangan Deplu Jepang buru-buru keluarkan keterangan: "Hubungan Jepang-Cina lebih bersifat politis". Tak diduga sebelumnya bahwa kunjungan ke RRT, yang lebih mencerminkan kehendak kaum usahawan (pendudug Tanaka untuk naik menggantikan Sato pada bulan Juli 1972) hasilnya adalah justru sebuah politik luar negeri bagi Jepang. Negeri ini sejak lama cuma asyik mengekor Amerika. Kini saatnya untuk tidak lagi begitu. Ketika Tanaka masih berada di Peking koran-koran Jepang terus-menerus menyiarkan rasa cemas Asia Tenggara terhadap Jepang. Kecaman-kecaman mulai timbul terhadap ekspansi ekonomi Jepang di Asia Tenggara.
Dan kenyataan kawasan ini memang tidak nampak -- seperti tersisihkan -- di antara gambar Mao dan Tanaka yang muncul di koran-koran. Semangat Bandung Atau Tokio Semua itu dengan saksama juga diketahui oleh penduduk Jepang melalui koran, radio dan tv mereka. Pulang dari Peking, Tanaka mulai dihadapkan kepada soal Asia Tenggara.
Surat kabar terkemuka Jepang, Mainichi, dalam edisi pertama di bulan Oktober 1972 menulis di tajuk-rencananya tentang suatu diplomasi Asia, dalam mana "Asia Tenggara harus mendapat perhatian Jepang". Beberapa hari sebelumnya, Menteri Perindustrian Nakasone telah pula muncul. Ia bicara soal gagasan memajukan hubungan dengan negara-negara Asia, "dengan menghidupkan kembali semangat Bandung" . Semangat Bandung atau semangat Tokio, bagi Tanaka sendiri nampaknya tak jadi soal. Ia sibuk berdiplomasi ke berbagai penjuru dunia, tapi Asia Tenggara belum juga mendapat kunjungan.
"Asia Tenggara memang kurang mendapat perhatian Jepang", kata ahli Asia Tenggara Prof. Toru Yano dari Universitas Kyoto.
Tak mengherankan Tokio sanggup mengorek banyak untung dari bagian dunia yang lain.
Jepang sementara itu memang punya hak untuk merasa setaraf dengan negeri-negeri besar dan negeri-negeri maju. Amerika dan Eropa lebih dekat ke hatinya. Maka para pengusaha mereka datang kemari tanpa perlu tahu soal-soal yang bisa jadi merepotkan mereka pada suatu hari: protes kemarahan di Asia Tenggara.
Hari yang kurang menyenangkan itu nampaknya sudah terbit. Tapi tidak sepenuhnya karena ketidak-tahuan orang Jepang. Berbagai sumber mengatakan bahwa kenikmatan bagi orang Jepang di Republik Indonesia ini memang tak aneh. Masuknya mereka kemari tidak ruwet. "Hanya sejumlah kecil orang tahu tentang Indonesia di Jepang,
dan orang itulah yang memainkan hubungan kedua negara melalui sejumlah kecil orang penting di Jakarta", kata Prof. Yang, yang kini menjadi penasehat Deplu Jepang.
Karena tidak melalui saluran birokratis yang lazim itulah dengan nyaman pedagang-pedagang Jepang pulang pergi dari ratusan kamar mewah Presiden Hotel milik JAL,
persis di seberang Kedutaan Besar mereka di Jakarta. Konco Jepang Mula-mula cuma kritikan melalui koran-koran Jakarta saja yang ada. Lama-lama muncul juga demonstrasi. Aksi terakhir ini tak bisa dipisahkan dari jatuhnya rezim Kittikachorn di Bangkok. Pemerintahan militer yang terusir itu dianggap konco Jepang.
Mereka dituduh jadi sangat kaya oleh kebijaksanaan yang terlalu banyak menguntungkan Jepang.
Tapi tak hanya itu masalah yang dihadapi Tanaka. Jepang justru sedang gundah oleh krisis minyak yang melumpuhkan industri Jepang. Inflasi konon mencapai tingkat 25 persen. Popularitas partai Liberal Demokrat (LDP) yang memerintah juga makin merosot. Enam kursi walikota yang diduduki LDP jatuh ke tangan partai-partai oposisi. Tapi sebelum semua itu, Tanaka pribadi telah terpukul oleh serangan gencar terhadap gagasannya menyebarkan perindustrian Jepang ke selumh pelosok Jepang.
"Tanaka nampaknya mengikuti kebijaksanaan pemerintah sebelumnya yang lebih mementingkan GNP dan melupakan soal polusi", komentar harian Yominri pada tajuk rencananya terbitan 26 September 1972. Dan gagasan mahal Tanaka itu akhirnya memang diam-diam dipeti-eskan.
Sebelum "gagasan menyebarkan polusi itu" -- seperti dikatakan orang Jepang sendiri --, kucing-kucing di Minamata sudah edan kena racun yang mengotori makanan.
Dan 279 petani menderita sakit. Yang tidak bisa menderita lebih lama terpaksa mati: sejumlah 57 orang. Itu terjadi di tahun 1956, akibat polusi air oleh bahan kimia buangan pabrik Chisso.
Malapetaka berikutnya menyerang propinsi Royama ketika dokter Hagino tiba-tiba diserbu penduduk yang mendadak sakit di bawah pusar dan sekujur tulang linu-linu.
Sementara penderita makin parah juga, foto sinar X menunjukkan 72 patah tulang dalam tubuh pasien, akibat bahan kimia cadmium yang telah meracuni sungai Juntsu.
119 petani kemudian meninggal oleh polusi yang diakibatkan oleh pabrik kimia milik Mitsui di situ.
Kisah-kisah yang lebih mengerikan di sekitar polusi ini tersedia cukup banyak dan lebih mengerikan di Jepang. Misalnya, orang Jepang yang warna kulitnya kuning langsat itu bisa melahirkan bayi yang berkulit hitam. Dan ini adalah akibat keracunan alat kimia PCB yang berjangkit via makanan yang disantap ayam sebelum gilirannya dihidangkan kepada manusia.
Kota Tokyo sendiri pernah mendadak terserang awan gelap di udara cerah musim panas 18 Juli 1972. Ternyata itu adalah asap racun yang keluar dari knalpot mobil yang menggumpal setelah bercampur dengan sinar ultra violet matahari. Kata Dr Kaino, direktur lembaga penyelidikan ekologi Tokyo: "Kalau begini terus penduduk Tokyo terpaksa harus pakai topeng gas".
Kota Terakhir Walhasil, tanah air orang Jepang sudah terlalu pengab. Maka mereka tak saja berfikir mengenai pemasaran hasil industri dan pencarian bahan baku.
Juga ekspor pabrik-pabrik yang tentu bisa dianggap juga ekspor polusi. Dan itu sudah mulai mereka lakukan: pabrik petrokimia di Muangthai, assembling mobil ke Indonesia. Berbagai soal itulah -- kecaman terhadap ekspansi ekonomi Jepang di Asia Tenggara, krisis bahan bakar, inflasi dan polusi yang mengintai jiwa bangsa Jepang -- yang secara bersama mengendap di kepala Tanaka, setahun.
Lalu ia memulai muhibah Asia Tenggaranya tanggal 7 bulan ini di Manila. Jakarta, kota terakhir dan terlama yang dikunjungi Tanaka dalam muhibahnya, jauh sebelumnya sudah berkemas dengan berbagai sikap dan pendapat terhadap Jepang. Sekelompok mahasiswa malahan menolak kedatangan Tanaka. Tapi seperti biasanya Menlu Adam Malik muncul dengan sikap ketimurannya yang meminta agar tamu diterima secara sepatutnya meskipun ia ada juga mengeritik Jepang.
Datangnya di Jakarta jatuh pada malam hari. Ini sedikitnya untuk mengurangi kemungkinan Tanaka bersibuk dengan para mahasiswa Indonesia, yang sejak lama nampaknya tidak mau kalah dengan rekan-rekannya di Bangkok. Sudah sejak beberapa minggu polisi anti huru-hara disiap-siagakan. Beberapa tokoh demonstran, antara lain Louis Wangge dan Yulius Usman, sudah ditahan. Tapi itu tak berarti mengurangi ketegangan. Dosen hubungan inter-nasional dari UI Juwono Sudarsono, misalnya meskipun tidak menolak kedatangan Tanaka, ia tidak melihat manfaat dari kunjungan itu. "Ia sebenarnya tidak perlu datang ke mari. Jepang sudah cukup kuat di sini".
Dan kuatnya Jepang menurut dosen yang dekat dengan kegiatan-kegiatan mahasiswa ini bukan saja dalam bidang ekonomi, tapi juga politik. Melalui "saham-saham yang perusahaan yang diberikan Jepang kepada pejabat-pejabat Indonesia", katanya.
Nada komentar seperti itu anehnya justru lebih keras melalui mulut seorang pejabat tinggi Negara. Ia adalah Menteri Mintareja. "Pedagang-pedagang Jepang yang bekerja sama dengan cukong Cina telah melampaui tata kerama dengan menyogok pejabat-pejabat Indonesia dengan wanita-wanita dan lipatan uang", begitu Mintareja sebagai yang dikutip harian Nusantara edisi 14 Desember yang lalu. "Ya, Sudahlah . . .
" Kecaman terbuka ke alamat Jepang sebelumnya memang berkali-kali muncul dalam bentuk demonstrasi ke Kedutaan Besar jalan Thamrin, Toyota Astra maupun puncak wisma Nusantara yang menjunjung lampu reklame Sanyo dan loyota. Lampu-lampu reklame raksasa itu akhir-nya memang diturunkan. Tapi seorang pengusaha Jepang sempat berkata -- mungkin untuk cuci tangan-bahwa bertahannya lampu itu di sana ialah atas jaminan seorang pejabat tinggi Indonesia juga.
Begitu kesalnya fihak Jepang terhadap kritik dan kecaman itu sampai-sampai Yoneda, atase pers Jepang di Jakarta, berkata: "Ya, sudahlah, kalau memang kami tidak disenangi di sini, kami akan pergi". Memang mudah mengatakan itu.
Tapi modal Jepang yang sudah melampaui modal AS (750 juta dollar) itu pasti dengan segala daya akan bertahan terus di negeri yang dengan mudah mereka terobos ini.
"Pengusaha-pengusaha Jepang di Jakarta ini senang dan betah sekali", kata Toru Yano. "Karena moral pemimpin kita mudah dibeli", sambut seorang mahasiswa secara berapi-api pada suatu diskusi mengenai modal asing.
"Soalnya kita ini tidak punya suatu kebijaksanaan yang jelas terhadap Jepang",
komentar seorang peninjau ekonomi. Tambahnya pula: "Hubungan Tokio-Indonesia amat semerawut dan melalui macam-macam saluran tanpa koordinasi. Sektor minyak Jepang punya lobbi sendiri, sektor kayu lain. perikanan lain, perkayuan lain pula.
Dan semua ini melemahkan posisi tawar menawar kita terhadap Jepang".
Seorang bekas politikus yang menjadi pengusaha, melihat kerugian-kerugian yang kita derita sebagai akibat ketidaksiapan kita menghadapi Jepang. "Kerugian itu disebabkan oleh pertentangan antar kita yang efeknya terasa sampai pada perebutan pengaruh, sampai juga di berbagai kedutaan kita. Pertentangan dan perebutan pengaruh di tingkat atas itu nampaknya makin menjadi-jadi, sehingga sulit untuk berbesar hati menghadapi Jepang", katanya. Ini disetujui oleh Juwono Sudarsono. "Tapi itulah memang tragedi-nya negara-negara yang sedang berkembang", katanya.
Lagi Prof. Yano, hal itu juga disebabkan oleh sikap pemimpin-pemimpin Indonesia yang lebih mendahulukan kepentingan pribadi dari pada kepentingan nasional. Kami Cuma Tamu Kecaman-kecaman yang ditujukan kepada ulah modal Jepang di Indonesia itu nampaknya berangsur-angsur beralih ke alamat pejabat-pejabat Indonesia sendiri.
Berbagai demonstrasi, terakhir terjadi minggu lalu di depan kantor Golkar di Jakarta, secara langsung menyebut nama Mayjen. Soedjono Hoemardani. Aspri Presiden ini memang sering dianggap sebagai penghubung utama antara modal Jepang dan pemerintah Indonesia -- mungkin karena tugasnya (Baca Wawancara dengan Soedjono Hoemardani).
Sementara itu peranan pejabat pejabat Indonesia diakui oleh kalangan Jepang. Setidaknya bukan Jepang saja yang salah menurut mereka. Kata Isamu Noto, direktur Jetro di Jakarta: "MITI tidak punya wewenang terhadap perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia. Karena itu kami kurang mengerti kenapa mahasiswa Indonesia berdemonstrasi ke Kedubes Jepang atau kantor perusahaan-perusahaan Jepang.
Tanggung jawab ada pada pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah. Kami cuma tamu yang masuk secara resmi".
Lepas dari itu, orang tak bisa menganggap sepi usaha kalangan pemerintah Indonesia untuk menemukan modus yang baik bagi hubungan Indonesia-Jepang. Dalam rangka itulah harus ditafsirkan seminar yang bulan lalu diselengarakan Yayasan Proklamasi dan dihadiri oleh pejabat-pejabat teras pemerintah Indonesia -- termasuk Jend. Sumitro. Mayjen Ali Murtopo, Mayjen Hoemardani, Letjen. Ibnu Sutowo -- tentang "Hubungan Jepang-Indonesia di tahun tujuhpuluhan".
Memang hasilnya mungkin tidak cepat bisa dirasakan oleh orang banyak yang keliwat sadar terhadap ekspansi modal Jepang. Tapi setidaknya seminar itu bisa memperlihatkan keinginan para pengambil keputusan tentang hubungan kedua negara.
Dan tidak semua pejabat bersikap lunak. Komentar Prof. Yano yang juga peserta seminar terhadap prasaran Jenderal Sumitro waktu itu: "Keras". Itu tidak berarti bahwa pemerintah Indonesia bakal tidak ramah terhadap kunjungan Tanaka.
Walaupun mengenai prioritas pokok-pokok pembicaraan pada mulanya ada perbedaan pendapat Berita-berita yang sampai ke TEMPO
menunjukkan pentingnya pertemuan Tanaka-Soeharto tanggal 15 Januari ini. Minyak bumi jadi topik pembicaraan, utama, tapi gas alam juga tidak kurang penting
sementara soal perkayuan tidak pula dilupakan. Fihak Jepang kabarnya juga akan membicarakan tentang kerja sama kebudayaan. "Pusat kebudayaan Jepang sudah pasti akan dibangun di Jakarta", kata seorang pejabat kedutaan di sini.
Tapi fihak Indonesia kabarnya akan memajukan gagasan Ali Murtopo tentang kerja sama Asia Pasifik dengan Sidney, Jakarta dan Tokio sebagai porosnya (lihat: Wawancara dengan Dr. Yano & Lie Tek Tjeng). Orang-orang Jepang menafsirkan kelahiran gagasan Ali Murtopo itu diilhami oleh gagasan The New Atlantic Charter-nya Kissinger.
Menurut sebuah sumber Jepang, Ali Murtopo sendiri telah menjelaskan gagasan tersebut kepada Tanaka ketika Aspri Presiden itu berada di Tokio tempo hari.
Jepang cenderung untuk menolak gagasan itu, yang sudah merupakan gagasan Pemerintah Indonesia. Jurubicara Asia Tenggara Tak semua kalangan Indonesia sendiri sepakat dengan gagasan itu. Sebab di dalamnya ada sikap yang dianggap mengabaikan kepentingan Indonesia dalam solidaritas dengan negeri-negeri miskin.
Tapi toh penolakan Jepang terhadap gagasan itu dinilai sebagai suatu usaha Tokio untuk melemahkan posisi politis Indonesia sebagai juru-bicara utama Asia Tenggara menghadapi Jepang.
Bagi Jepang meng-hadapi negara-negara Asia Tenggara secara terpisah-pisah, tidak lewat Indonesia terang memang lebih mudah bagi Jepang. Lagi pula pada suatu konperensi dengan menteri-menteri dari berbagai negara Asia Tenggara di Tokio menjelang akhir tahun silam. Menlu Jepang Ohira nampak ingin jadi juru bicara bagi kepentingan Asia Tenggara. Tapi ditolak. Semua itu sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya jinak dan patuh di depan Matahari Terbit.
Soalnya kemudian: dapatkah sikap yang lebih teguh itu ditunjukkan, misalnya dalam soal penanaman modal? Pertanyaan ini merembet di banyak kepala orang Indonesia.
Dan untuk menjawabnya nampaknya tidak sukar. Karena pengusaha Jepang sendiri sebenarnya selalu siap menerima perubahan-perubahan peraturan penanaman modal.
"Mereka tahu betul bahwa cara-cara yang mereka tempuh sekarang ini amat merugikan Indonesia", kata Dr The Kian Wie, ahli ekonomi dari LEKNAS. Tak kurang penting ialah perkara kontrak penjualan minyak dan gas alam Indonesia kepada Jepang.
Kontrak minyak (April 1972) dan kontrak gas alam cair alias LNG (Nopember 1973) dengan Tokio sering dianggap merugikan Indonesia.
Menurut Pengritiknya, kedua bahan bakar yang amat penting itu dipisahkan dari bahan mentah kita, pada hal kalau dijual secara bersama posisi tawar menauar kita akan jadi lebih besar. Tapi tentu saja tergantung juga bagaimana caranya mengatur penjualan dan harga kedua bahan penting itu.
Kepada TEMPO, Toru Yano dengan yakin berkata: "Dalam soal gas alam, Indonesia menang". Alhamdulillah. Tapi seperti dalam hal-hal lain, kemenangan itu masih harus ditunggu. "Semua itu tergantung pemerintah kita. Kitalah yang harus memutuskannya, bukan mereka", kata Dr Lie Tek Tjeng. Dan dalam melakukan tawar menawar itu, kalau pemerintah tidak lupa letak Indonesia yang strategis, tentulah Indonesia bisa tahan harga -- paling tidak menurut jalan fikiran Lie Tek Tjeng.
Tapi meskipun Soeharto-Tanaka berhasil mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah fihak, persoalan belum selesai. Selain sikap Pemerintah Indonesia, sikap dan cara kerja orang Jepang itu sendiri banyak menyusahkan mereka.
Peristiwa Sekolah Jepang yang menghina orang Indonesia atau pemecatan sewenang-wenang tanpa pesangon 17 karyawan dari 11 perusahaan Jepang
akhir tahun silam adalah contoh yang cukup menyolok.
Demikian pula pilihan terhadap orang Cina sebagai pasangan dagang "jelas memperburuk wajah Jepang di mata kebanyakan orang Indonesia meskipun hal itu secara ekonomis amat menguntungkan", kata Yuwono Sudarsono. Apakah itu tidak difikirkan oleh orang-orang Jepang? "Tidak sejauh itu mereka" jawab Yano. Sambungnya pula: "Bagi mereka selama Soedjono Hoemardani masih berkuasa mereka akan tetap merasa aman".
Risiko Psikologis Bagaimanapun keterlibatan Jepang di Indonesia dan Asia Tenggara yang makin membesar memang suatu kali tidak bisa semuanya tergantung pada seorang "bapak". Lagi pula negara-negara lain juga banyak yang berkepentingan -- politis maupun ekonomis -- di sini. Mungkin menyadari inilah maka salah satu nasehat Prof. Yano kepada Tanaka adalah agar segera memanfaatkan Departemen Luar Negeri kedua negara dalam hubungan Indonesia-Jepang dan meng-hindarkan cara yang tidak melalui Deplu.
Dalam rangka ini pulalah maka kepada TEMPO, Yano menyatakan kekhawatirannya akan tingkah laku Tanaka yang kadang aneh. "Saya berharap kali ini Tanaka tidak bertindak yang bukan-bukan. Dia ini orang susah dan sering sekali membingungkan Deplu Jepang" kata Yano. Tapi bagi Juwono Sudarsono kunjungan Tanaka ke Jakarta sekarang ini adalah suatu risiko psikologis bagi Soeharto yang terpaksa harus menelan dakwaan sebagai sangat tergantung pada Jepang. Dakwaan ataupun fitnahan waktu nampaknya belum seluruhnya habis. Perbaikan masih bisa dilakukan untuk keuntungan Indonesia. Menjelang akhir pekan ini sebagian dari sejarah Indonesia sedang ditentukan di muka tuan Tanaka.
TEMPO
Senin, 12 September 2011
Jugun Ianfu ( Comfort Women )
Jugun Ianfu adalah istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asing lainnya adalah Comfort Women. Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang.
Mengapa Jugun Ianfu diciptakan?
- Melakukan invansi ke negara lain yang mengakibatkan peperangan membuat kelelahan mental tentara Jepang. Kondisi ini mengakibatkan tentara Jepang melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan masal yang mengakibatkan mewabahnya penyakit kelamin yang menjangkiti tentara Jepang. Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Situasi ini memunculkan gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal , menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang.
Bagaimana mereka direkrut?
- Mereka direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.
Siapa yang merekrut mereka?
- Militer Jepang, sipil Jepang, pejabat lokal sepeti bupati, camat, lurah dan RT
Dari mana asal Jugun Ianfu?
- Mereka berasal dari Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, Malaysia, dan Indonesia. Sebagian kecil di antaranya dari Belanda dan Jepang sendiri. Mereka dibawa ke wilayah medan pertempuran untuk melayani kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang baik di garis depan pertempuran maupun di wilayah garis belakang pertempuran.
Siapakah Jugun Ianfu Indonesia?
- Sebagian besar perempuan-perempuan yang berasal dari pulau Jawa yang dijadikan Jugun Ianfu seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri Sukanti, hanyalah sebagian kecil Jugun Ianfu Indonesia yang bisa diidentifikasi. Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia yang hidup maupun sudah meninggal dunia yang belum terlacak keberadaannya.
Bagaimana mereka diperlakukan?
- Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian di aborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.
Kapan dan dimana ?
- Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945 telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.
Apa yang terjadi setelah perang?
- Setelah perang Asia Pasifik usai Jugun Ianfu yang masih hidup didera perasaan malu untuk pulang ke kampung halaman. Mereka memilih hidup ditempat lain dan mengunci masa lalu yang kelam dengan berdiam dan mengucilkan diri. Hidup dalam kemiskinan ekonomi dan disingkirkan masyarakat. Mengalami penderitaan fisik, menanggung rasa malu dan perasaan tak berharga hingga akhir hidupnya.
Siapa yang bertanggungjawab atas sistem perbudakan terencana ini?
- Kaisar Hirohito merupakan pemberi restu sistem Jugun Ianfu ini diterapkan di seluruh Asia Pasifik. Para pelaksana di lapangan adalah para petinggi militer yang memberi komando perang. Maka saat ini pihak yang harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan ini adalah pemerintah Jepang.
Bagaimana sikap pemerintah Jepang masa kini?
- Pemerintah Jepang masa kini tidak mengakui keterlibatannya dalam praktek perbudakan seksual di masa perang Asia Pasifik. Pemerintah Jepang berdalih Jugun Ianfu dikelola dan dioperasikan oleh pihak swasta. Pemerintah Jepang menolak meminta maaf secara resmi kepada para Jugun Ianfu. Kendatipun demikian Juli 1995 Perdana Menteri Tomiichi Murayama pernah menyiratkan permintaan maaf secara pribadi, tetapi tidak mewakili negara Jepang. Tahun 1993 Yohei Kono mewakili sekretaris kabinet Jepang memberikan pernyataan empatinya kepada korban Jugun Ianfu. Namun pada Maret 2007 Perdana Menteri Shinzo Abe mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dengan menyanggah keterlibatan militer Jepang dalam praktek sistem perbudakan seksual.
Bagaimana sikap politik pemerintah Indonesia?
- Pemerintah Indonesia menganggap masalah Jugun Ianfu sudah selesai, bahkan mempererat hubungan bilateral dan ekonomi dengan Jepang paska perang Asia Pasifik. Namun hingga kini banyak organisasi non pemerintah terus memperjuangkan nasib Jugun Ianfu dan terus melakukan melobi ke tingkat internasional untuk menekan pemerintah Jepang agar menyelesaikan kasus perbudakan seksual ini. Kemudian upaya penelitian masih terus dilakukan untuk memperjelas sejarah buram Jugun Ianfu Indonesia,berpacu dengan waktu karena para korban yang sudah lanjut usia.
Bagaimana sikap masyarakat Indonesia?
- Banyak masyarakat yang merendahkan, serta menyisihkan para korban dari pergaulan sosial. Kasus Jugun Ianfu dianggap sekedar “kecelakaan” perang dengan memakai istilah “ransum Jepang”. Mencap para korban sebagai pelacur komersial. Banyak juga pihak-pihak oportunis yang berkedok membela kepentingan Jugun Ianfu dan mengatasnamakan proyek kemanusiaan, namum mereka adalah calo yang mengkorupsi dana santunan yang seharusnya diterima langsung para korban.
Apakah AWF?
- Juli 1995 Asian Women’s Fund (AWF) didirikan oleh organisasi swasta Jepang. Organisasi ini dituduh sebagai “agen penyuap” untuk meredam protes masyarakat internasional dan tidak mewakili pemerintah Jepang secara resmi. Di masa pemerintahan Soeharto Tahun 1997 Menteri Sosial Inten Suweno menerima dana santunan bagi para korban sebesar 380 juta yen yang diangsur selama 10 tahun. Namun banyak para korban menyatakan tidak pernah menerima santunan tersebut.
Apa yang dituntut para korban?
- 1. Pemerintah Jepang masa kini harus mengakui secara resmi dan meminta maaf bahwa perbudakan seksual dilakukan secara sengaja oleh negara Jepang selama perang Asia Pasifik 1931-1945.
2. Para korban diberi santunan sebagai korban perang untuk kehidupan yang sudah dihancurkan oleh militer Jepang.
3. Menuntut dimasukkannya sejarah gelap Jugun Ianfu ke dalam kurikulum sekolah di Jepang agar generasi muda Jepang mengetahui kebenaran sejarah Jepang.
Bagaimana sikap masyarakat internasional?
- Tahun 1992, untuk pertama kalinya Kim Hak Soon korban asal Korea Selatan membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke publik. Setelah itu masalah Jugun Ianfu terbongkar dan satu persatu korban dari berbagai negara angkat suara. Kemudian tahun 2000 telah digelar Tribunal Tokyo yang menuntut pertanggung jawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang atas praktek perbudakan seksual selama perang Asia Pasifik. Tahun 2001 final keputusan dikeluarkan di Tribunal The Haque. Setelah itu tekanan internasional terhadap pemerintah Jepang terus Dilakukan. Oktober 2007 kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang memenuhi tanggung jawab politik atas masalah ini . Meski demikian pemerintah Jepang sampai hari ini belum mengakui apa yang telah diperbuat terhadap ratusan ribu perempuan di Asia dan Belanda pada masa perang Asia Pasifik.
Mengapa Jugun Ianfu diciptakan?
- Melakukan invansi ke negara lain yang mengakibatkan peperangan membuat kelelahan mental tentara Jepang. Kondisi ini mengakibatkan tentara Jepang melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan masal yang mengakibatkan mewabahnya penyakit kelamin yang menjangkiti tentara Jepang. Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Situasi ini memunculkan gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal , menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang.
Bagaimana mereka direkrut?
- Mereka direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.
Siapa yang merekrut mereka?
- Militer Jepang, sipil Jepang, pejabat lokal sepeti bupati, camat, lurah dan RT
Dari mana asal Jugun Ianfu?
- Mereka berasal dari Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, Malaysia, dan Indonesia. Sebagian kecil di antaranya dari Belanda dan Jepang sendiri. Mereka dibawa ke wilayah medan pertempuran untuk melayani kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang baik di garis depan pertempuran maupun di wilayah garis belakang pertempuran.
Siapakah Jugun Ianfu Indonesia?
- Sebagian besar perempuan-perempuan yang berasal dari pulau Jawa yang dijadikan Jugun Ianfu seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri Sukanti, hanyalah sebagian kecil Jugun Ianfu Indonesia yang bisa diidentifikasi. Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia yang hidup maupun sudah meninggal dunia yang belum terlacak keberadaannya.
Bagaimana mereka diperlakukan?
- Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian di aborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.
Kapan dan dimana ?
- Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945 telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.
Apa yang terjadi setelah perang?
- Setelah perang Asia Pasifik usai Jugun Ianfu yang masih hidup didera perasaan malu untuk pulang ke kampung halaman. Mereka memilih hidup ditempat lain dan mengunci masa lalu yang kelam dengan berdiam dan mengucilkan diri. Hidup dalam kemiskinan ekonomi dan disingkirkan masyarakat. Mengalami penderitaan fisik, menanggung rasa malu dan perasaan tak berharga hingga akhir hidupnya.
Siapa yang bertanggungjawab atas sistem perbudakan terencana ini?
- Kaisar Hirohito merupakan pemberi restu sistem Jugun Ianfu ini diterapkan di seluruh Asia Pasifik. Para pelaksana di lapangan adalah para petinggi militer yang memberi komando perang. Maka saat ini pihak yang harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan ini adalah pemerintah Jepang.
Bagaimana sikap pemerintah Jepang masa kini?
- Pemerintah Jepang masa kini tidak mengakui keterlibatannya dalam praktek perbudakan seksual di masa perang Asia Pasifik. Pemerintah Jepang berdalih Jugun Ianfu dikelola dan dioperasikan oleh pihak swasta. Pemerintah Jepang menolak meminta maaf secara resmi kepada para Jugun Ianfu. Kendatipun demikian Juli 1995 Perdana Menteri Tomiichi Murayama pernah menyiratkan permintaan maaf secara pribadi, tetapi tidak mewakili negara Jepang. Tahun 1993 Yohei Kono mewakili sekretaris kabinet Jepang memberikan pernyataan empatinya kepada korban Jugun Ianfu. Namun pada Maret 2007 Perdana Menteri Shinzo Abe mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dengan menyanggah keterlibatan militer Jepang dalam praktek sistem perbudakan seksual.
Bagaimana sikap politik pemerintah Indonesia?
- Pemerintah Indonesia menganggap masalah Jugun Ianfu sudah selesai, bahkan mempererat hubungan bilateral dan ekonomi dengan Jepang paska perang Asia Pasifik. Namun hingga kini banyak organisasi non pemerintah terus memperjuangkan nasib Jugun Ianfu dan terus melakukan melobi ke tingkat internasional untuk menekan pemerintah Jepang agar menyelesaikan kasus perbudakan seksual ini. Kemudian upaya penelitian masih terus dilakukan untuk memperjelas sejarah buram Jugun Ianfu Indonesia,berpacu dengan waktu karena para korban yang sudah lanjut usia.
Bagaimana sikap masyarakat Indonesia?
- Banyak masyarakat yang merendahkan, serta menyisihkan para korban dari pergaulan sosial. Kasus Jugun Ianfu dianggap sekedar “kecelakaan” perang dengan memakai istilah “ransum Jepang”. Mencap para korban sebagai pelacur komersial. Banyak juga pihak-pihak oportunis yang berkedok membela kepentingan Jugun Ianfu dan mengatasnamakan proyek kemanusiaan, namum mereka adalah calo yang mengkorupsi dana santunan yang seharusnya diterima langsung para korban.
Apakah AWF?
- Juli 1995 Asian Women’s Fund (AWF) didirikan oleh organisasi swasta Jepang. Organisasi ini dituduh sebagai “agen penyuap” untuk meredam protes masyarakat internasional dan tidak mewakili pemerintah Jepang secara resmi. Di masa pemerintahan Soeharto Tahun 1997 Menteri Sosial Inten Suweno menerima dana santunan bagi para korban sebesar 380 juta yen yang diangsur selama 10 tahun. Namun banyak para korban menyatakan tidak pernah menerima santunan tersebut.
Apa yang dituntut para korban?
- 1. Pemerintah Jepang masa kini harus mengakui secara resmi dan meminta maaf bahwa perbudakan seksual dilakukan secara sengaja oleh negara Jepang selama perang Asia Pasifik 1931-1945.
2. Para korban diberi santunan sebagai korban perang untuk kehidupan yang sudah dihancurkan oleh militer Jepang.
3. Menuntut dimasukkannya sejarah gelap Jugun Ianfu ke dalam kurikulum sekolah di Jepang agar generasi muda Jepang mengetahui kebenaran sejarah Jepang.
Bagaimana sikap masyarakat internasional?
- Tahun 1992, untuk pertama kalinya Kim Hak Soon korban asal Korea Selatan membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke publik. Setelah itu masalah Jugun Ianfu terbongkar dan satu persatu korban dari berbagai negara angkat suara. Kemudian tahun 2000 telah digelar Tribunal Tokyo yang menuntut pertanggung jawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang atas praktek perbudakan seksual selama perang Asia Pasifik. Tahun 2001 final keputusan dikeluarkan di Tribunal The Haque. Setelah itu tekanan internasional terhadap pemerintah Jepang terus Dilakukan. Oktober 2007 kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang memenuhi tanggung jawab politik atas masalah ini . Meski demikian pemerintah Jepang sampai hari ini belum mengakui apa yang telah diperbuat terhadap ratusan ribu perempuan di Asia dan Belanda pada masa perang Asia Pasifik.
Romusha dan Jugun Ianfu : Penghinaan Martabat Bangsa
Romusha Praktik Kolonialisme Jepang
Romusha (rōmusha: "buruh", "pekerja") adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta.
DALAM sejarah kolonialisme, Jepang merupakan negara pertama di Asia yang memiliki pandangan dan aksi kolonialisme. Kolonialisme Jepang memang pada akhirnya menjadi kolonialisme yang sangat pendek. Kolonialime Jepang memang belum sebanding jika disandingkan dengan kolonialime bangsa bangsa Eropa atas Asia, Afrika, dan Amerika dalam sejarah abad ke-15 hingga ke-20.
Memang harus diakui, Jepang sempat mengejutkan Eropa, menjelma menjadi kekuatan kapital-militeristik yang membuat repot Eropa dan Amerika. Beroperasinya kolonialisme Jepang disusun oleh Tanaka arsitek perang modern yang juga menjadi perdana menteri Jepang waktu 1927-1929. Pikiran pikiran Tanaka ditungakannya ke dalam Memorandum Tanaka. Memorandum ini berisi rencana Jepang untuk memikul tugas suci untuk memimpin bangsa bangsa Asia Timur. Pandangan ini pada akhirnya mewujud menjadi doktrin dengan nama Hakko I Chiu; dunia dalam satu keluarga dibawah pimpinan Jepang.
Terinsipirasi dari semangat ini, berubahlah Jepang menjadi kekuatan militer yang sangat disegani. Dalam sejarah perang dunia 2, kemampuan militer Jepang dalam sesaat mampu menghancurkan sekutu, dan dalam sekepap menguasai Asia Tenggara dan sebagian pasifik. Dominasi Jepang ini pada akhirnya berakhir dengan tragis, dalam satu hari pada 9 Agustus 1945 pesawat pembom B 29 milik Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di KotaHiroshima dan Nagasaki. Inilah momentum kekalahan Jepang, serta berakhir pulalah dominasinya di Asia timur dan sebagian Pasifik.
Masuknya Jepang ke Indonesia, awalnya disambut gembira oleh para pejuang kemerdekaan waktu itu. Jepang dianggap sebagai saudara, sesama Asia yang membantu mengusir Kolonial Belanda . Namun, sesaat setelah Jepang mendarat di Hindia Belanda (Indonesia-saat ini), ternyata Jepang berbuat yang tak kalah licik dan bengisnya. Jepang berupaya menghapus pengaruh kultural barat yang telah hinggap di Hindi Belanda, dan yang kedua Jepang mengeruk sumber sumber kekayaan alam startegi yang ada di tanah air kita. Pasokan sumber sumber ala mini digunakan untuk membiayai perang Jepang dengan Sekutu di Asia Timur dan Pasifik.
Luasnya daerah pendudukan Jepang membuat Jepang memerlukan tenaga kerja yang begitu besar. Tenaga kerja ini dibutuhkan untuk membangun kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga tenaga kerja ini diambilkan dari penduduk Jawa yang cukup padat. Para tenaga kerja ini dipaksa yang popular di sebut denga Romusa. Jejaring tentara Jepang untuk menjalankan romusha hingga ke desa desa. Dalam catatan buku ini, setidaknya ada 300.000 tenaga romusha yang dikirim ke berbagai negara di Asia Tenggara, 70.000 orang diantaranya dalam kondisi menyedihkan da berakhir dengan kematian.
Para romusa juga melibatkan kaum perempuan. Mereka dibujuk rayu di iming iming mendapatkan pekerjaan, namun mereka di bawa ke kamp kamp tertutup untuk dijadikan wanita penghibur (Jugun Ianfu).
Romusa juga melibatkan tokoh tokoh pergerakan waktu itu. Mereka dipaksa oleh Jepang untuk menjadi tenaga tenaga paksa tersebut. Diantara para romusa yang berasal dari tokoh pergerakan adalah Soekarno dan Otto Iskandardinata. Mereka berdua dipaksan tentara pendudukan Jepang untuk membuat lapangan udara darurat.
Jepang melakukan rekruitmen calon calon romusa, pola tingkatan, serta alokasi tenaga kerja paksa ini. Basis paparannya melihat praktik romusa dan proyek proyeknya di Gunung Madur dan sekitar Banten. Namun pada saat yang sama, Jepang berhasil memanipulasi keberadaan romusa ini ke dunia internasional. Untuk menyamarkan keberadaan romusa, Jepang memperhalus istilah romusa dengan “pekerja ekonomi” atau pahlawan pekerja.
Jugun ianfu
Jugun ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur (bahasa Inggris comfort women) yang terlibat dalam perbudakan seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang.
Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945.
Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik. Jumlah perkiraan dari jugun ianfu ini pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa jugun ianfu yang masih hidup jumlah ini sepertinya berada di batas atas dari angka di atas. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun dijalankan oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang.
Di Indonesia
Para perempuan Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan paksaan (diambil begitu saja di jalan atau bahkan di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem).
Rumah bordil sebagai bagian dari kebijakan militer Jepang
Penelitian sejarah ke dalam pemerintah Jepang mencatat beberapa alasan untuk pendirian rumah bordil militer. Pertama, penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan keefektivan militer tentara Jepang akan meningkat. Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Terakhir, pengadaan rumah bordil di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan ijin istirahat bagi tentara.
Pada tahap awal perang, penguasa Jepang mengambil pelacur melalui cara konvensional. Iklan yang menawarkan pekerjaan sebagai pelacur muncul di koran-koran yang terbit di Jepang dan koloni Jepang di Korea, Manchukuo, dan daratan Tiongkok. Banyak yang menanggapi iklan ini dahulunya merupakan pelacur dan menawarkan jasa mereka sukarela. Yang lainnya dijual oleh keluarga mereka kepada militer karena kesulitan ekonomi.
Namun, sumber ini dengan cepat mengering, terutama dari Jepang. Menteri Urusan Luar Negeri menolak pengeluaran visa perjalanan bagi pelacur Jepang, karena merasa akan mencemari nama Kekaisaran Jepang. Militer kemudian mencari wanita penghibur di luar Jepang, terutama dari Korea dan Tiongkok. Banyak wanita dibohongi dan ditipu untuk bergabung ke rumah bordil militer. Lainnya diculik. Pelacur Jepang yang tetap tinggal di rumah bordil militer sering menjadi karayukisan, atau manajer rumah bordil, menyisakan wanita penghibur non-Jepang menjadi korban pemerkosaan beruntun.
Militer juga mengumpulkan wanita penghibur dari daerah setempat. Di wilayah perkotaan, iklan konvensional melalui orang ketiga digunakan bersama dengan penculikan. Namun, di garis depan, terutama di negara di mana orang ketiga jarang tersedia, militer secara langsung pemimpin lokal untuk menyediakan wanita untuk rumah bordil. Situasi ini menjadi buruk ketika perang berlanjut. Di bawah tekanan usaha perang, militer menjadi tidak bisa menyediakan persediaan yang cukup untuk tentara Jepang; sebagai tanggapan, tentara Jepang meminta atau merampok persediaan dari daerah setempat. Terlebih lagi, ketika orang setempat, terutama Tiongkok, dianggap berbahaya, tentara Jepang mengadakan kebijakan pembersihan , yang termasuk penculikan dan pemerkosaan penduduk setempat.
Menurut wanita penghibur yang masih hidup menggambarkan rumah bordil Jepang tempat yang mengerikan. Wanita dibagi menjadi tiga atau empat kategori, tergantung lamanya pelayanan. Wanita yang paling baru yang lebih tidak mungkin terkena penyakit kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Namun, dengan berjalannya waktu, wanita penghibur diturunkan kategorinya karena kemungkinan terkena penyakit kelamin lebih tinggi. Ketika mereka dianggap terlalu berpenyakit untuk digunakan lebih lanjut, mereka diabaikan. Banyak wanita melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh oleh ribuan lelaki dalam waktu beberapa tahun.
Ketika usaha perang mengalami kemunduran dan militer mengevakuasikan posisi mereka di Asia Tenggara, wanita penghibur non-Jepang ditinggalkan. Banyak wanita penghibur mati kelaparan di pulau-pulau yang ditinggalkan ribuan mil dari rumah mereka. Beberapa dapat kembali ke tempat asalnya di Korea atau timur laut Tiongkok.
Romusha (rōmusha: "buruh", "pekerja") adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta.
DALAM sejarah kolonialisme, Jepang merupakan negara pertama di Asia yang memiliki pandangan dan aksi kolonialisme. Kolonialisme Jepang memang pada akhirnya menjadi kolonialisme yang sangat pendek. Kolonialime Jepang memang belum sebanding jika disandingkan dengan kolonialime bangsa bangsa Eropa atas Asia, Afrika, dan Amerika dalam sejarah abad ke-15 hingga ke-20.
Memang harus diakui, Jepang sempat mengejutkan Eropa, menjelma menjadi kekuatan kapital-militeristik yang membuat repot Eropa dan Amerika. Beroperasinya kolonialisme Jepang disusun oleh Tanaka arsitek perang modern yang juga menjadi perdana menteri Jepang waktu 1927-1929. Pikiran pikiran Tanaka ditungakannya ke dalam Memorandum Tanaka. Memorandum ini berisi rencana Jepang untuk memikul tugas suci untuk memimpin bangsa bangsa Asia Timur. Pandangan ini pada akhirnya mewujud menjadi doktrin dengan nama Hakko I Chiu; dunia dalam satu keluarga dibawah pimpinan Jepang.
Terinsipirasi dari semangat ini, berubahlah Jepang menjadi kekuatan militer yang sangat disegani. Dalam sejarah perang dunia 2, kemampuan militer Jepang dalam sesaat mampu menghancurkan sekutu, dan dalam sekepap menguasai Asia Tenggara dan sebagian pasifik. Dominasi Jepang ini pada akhirnya berakhir dengan tragis, dalam satu hari pada 9 Agustus 1945 pesawat pembom B 29 milik Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di KotaHiroshima dan Nagasaki. Inilah momentum kekalahan Jepang, serta berakhir pulalah dominasinya di Asia timur dan sebagian Pasifik.
Masuknya Jepang ke Indonesia, awalnya disambut gembira oleh para pejuang kemerdekaan waktu itu. Jepang dianggap sebagai saudara, sesama Asia yang membantu mengusir Kolonial Belanda . Namun, sesaat setelah Jepang mendarat di Hindia Belanda (Indonesia-saat ini), ternyata Jepang berbuat yang tak kalah licik dan bengisnya. Jepang berupaya menghapus pengaruh kultural barat yang telah hinggap di Hindi Belanda, dan yang kedua Jepang mengeruk sumber sumber kekayaan alam startegi yang ada di tanah air kita. Pasokan sumber sumber ala mini digunakan untuk membiayai perang Jepang dengan Sekutu di Asia Timur dan Pasifik.
Luasnya daerah pendudukan Jepang membuat Jepang memerlukan tenaga kerja yang begitu besar. Tenaga kerja ini dibutuhkan untuk membangun kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga tenaga kerja ini diambilkan dari penduduk Jawa yang cukup padat. Para tenaga kerja ini dipaksa yang popular di sebut denga Romusa. Jejaring tentara Jepang untuk menjalankan romusha hingga ke desa desa. Dalam catatan buku ini, setidaknya ada 300.000 tenaga romusha yang dikirim ke berbagai negara di Asia Tenggara, 70.000 orang diantaranya dalam kondisi menyedihkan da berakhir dengan kematian.
Para romusa juga melibatkan kaum perempuan. Mereka dibujuk rayu di iming iming mendapatkan pekerjaan, namun mereka di bawa ke kamp kamp tertutup untuk dijadikan wanita penghibur (Jugun Ianfu).
Romusa juga melibatkan tokoh tokoh pergerakan waktu itu. Mereka dipaksa oleh Jepang untuk menjadi tenaga tenaga paksa tersebut. Diantara para romusa yang berasal dari tokoh pergerakan adalah Soekarno dan Otto Iskandardinata. Mereka berdua dipaksan tentara pendudukan Jepang untuk membuat lapangan udara darurat.
Jepang melakukan rekruitmen calon calon romusa, pola tingkatan, serta alokasi tenaga kerja paksa ini. Basis paparannya melihat praktik romusa dan proyek proyeknya di Gunung Madur dan sekitar Banten. Namun pada saat yang sama, Jepang berhasil memanipulasi keberadaan romusa ini ke dunia internasional. Untuk menyamarkan keberadaan romusa, Jepang memperhalus istilah romusa dengan “pekerja ekonomi” atau pahlawan pekerja.
Jugun ianfu
Jugun ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur (bahasa Inggris comfort women) yang terlibat dalam perbudakan seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang.
Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945.
Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik. Jumlah perkiraan dari jugun ianfu ini pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa jugun ianfu yang masih hidup jumlah ini sepertinya berada di batas atas dari angka di atas. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun dijalankan oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang.
Di Indonesia
Para perempuan Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan paksaan (diambil begitu saja di jalan atau bahkan di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem).
Rumah bordil sebagai bagian dari kebijakan militer Jepang
Penelitian sejarah ke dalam pemerintah Jepang mencatat beberapa alasan untuk pendirian rumah bordil militer. Pertama, penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan keefektivan militer tentara Jepang akan meningkat. Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Terakhir, pengadaan rumah bordil di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan ijin istirahat bagi tentara.
Pada tahap awal perang, penguasa Jepang mengambil pelacur melalui cara konvensional. Iklan yang menawarkan pekerjaan sebagai pelacur muncul di koran-koran yang terbit di Jepang dan koloni Jepang di Korea, Manchukuo, dan daratan Tiongkok. Banyak yang menanggapi iklan ini dahulunya merupakan pelacur dan menawarkan jasa mereka sukarela. Yang lainnya dijual oleh keluarga mereka kepada militer karena kesulitan ekonomi.
Namun, sumber ini dengan cepat mengering, terutama dari Jepang. Menteri Urusan Luar Negeri menolak pengeluaran visa perjalanan bagi pelacur Jepang, karena merasa akan mencemari nama Kekaisaran Jepang. Militer kemudian mencari wanita penghibur di luar Jepang, terutama dari Korea dan Tiongkok. Banyak wanita dibohongi dan ditipu untuk bergabung ke rumah bordil militer. Lainnya diculik. Pelacur Jepang yang tetap tinggal di rumah bordil militer sering menjadi karayukisan, atau manajer rumah bordil, menyisakan wanita penghibur non-Jepang menjadi korban pemerkosaan beruntun.
Militer juga mengumpulkan wanita penghibur dari daerah setempat. Di wilayah perkotaan, iklan konvensional melalui orang ketiga digunakan bersama dengan penculikan. Namun, di garis depan, terutama di negara di mana orang ketiga jarang tersedia, militer secara langsung pemimpin lokal untuk menyediakan wanita untuk rumah bordil. Situasi ini menjadi buruk ketika perang berlanjut. Di bawah tekanan usaha perang, militer menjadi tidak bisa menyediakan persediaan yang cukup untuk tentara Jepang; sebagai tanggapan, tentara Jepang meminta atau merampok persediaan dari daerah setempat. Terlebih lagi, ketika orang setempat, terutama Tiongkok, dianggap berbahaya, tentara Jepang mengadakan kebijakan pembersihan , yang termasuk penculikan dan pemerkosaan penduduk setempat.
Menurut wanita penghibur yang masih hidup menggambarkan rumah bordil Jepang tempat yang mengerikan. Wanita dibagi menjadi tiga atau empat kategori, tergantung lamanya pelayanan. Wanita yang paling baru yang lebih tidak mungkin terkena penyakit kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Namun, dengan berjalannya waktu, wanita penghibur diturunkan kategorinya karena kemungkinan terkena penyakit kelamin lebih tinggi. Ketika mereka dianggap terlalu berpenyakit untuk digunakan lebih lanjut, mereka diabaikan. Banyak wanita melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh oleh ribuan lelaki dalam waktu beberapa tahun.
Ketika usaha perang mengalami kemunduran dan militer mengevakuasikan posisi mereka di Asia Tenggara, wanita penghibur non-Jepang ditinggalkan. Banyak wanita penghibur mati kelaparan di pulau-pulau yang ditinggalkan ribuan mil dari rumah mereka. Beberapa dapat kembali ke tempat asalnya di Korea atau timur laut Tiongkok.
Tiga Setengah Tahun Dalam Penjajahan Jepang
Pertaroengan diteloek Banten Menandoeng Sedjarah. Jedjadian ini tidak diloepakan oenteok selam-lamanja. Saat itoelah pada tg. 1 Maret 2602 Balatentara Dai Nippon mendarat dan menamatkan riwajat penindasan Belanda, Jang dimoelai oleh C.v Houtman pada tiga abad jang laloe. Rakjat menjamboet kedatangan Balatentara Nippon dengan gembira. Ternjata pendaratan hingga sekarang pendoedoek Banten-Sju bekerja giat bersama Balatentara.
Kutipan tersebut diambil dari majalah bergambar dua mingguan Djawa Baroe terbitan 1 Maret 2604 Showa atau 1944 Masehi, sebagai awal tulisan berjudul Kissah Pendaratan Balatentara Nippon Ditanah Djawa – Riwajat Belanda moelai dan tammat di Banten. Dalam tulisan ini, dikisahkan tentang daratan pasukan Jepang lainnya di Cretan dan Jawa Timur, hingga .ienyerahnya tentara Belanda. “…Dengan Tergesa-gesa Tjarda dan Ter Poorten lari e Kalidjati, hendak menemoei Panglima Balatentara Nippon. Maksoednja Menjatakan tidak tahan lagi berperang melawan Balatentara Nippon jang gagah berani itoe. Mereka hendak menjerah tidak memakai perdjandjian apa-apa. Balatentara Nippon melihat kedoea pahlawan Belanda ini merasa sangat kasihan dan menerima penjerahan nereka. Dengan perasaan sedih dan menjesal akan kekeliroean sendiri, maka Tjarda dan Ter Poorten keloear dari ,goeboek ketjil—tempat permoesiawaratan di Kalidjati dengan keinsafan, bahwa mereka terdieroemoes oleh Sekoetoenia, Inggeris-Amerika, jaitoe : “Memakloemkan perang pada Dai Nippon dengan tidak tahoe apa maksoednja !”
Sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia, salah satu negeri di Selatan atau Nanyo yang sudah lama diincarnya, baik karena kekayaan cumber alamnya maupun letaknya yang strategic dan menentukan untuk urat nadi perniagaan internasionalnya. Mengingat invasi Jepang terhadap Hindia Belanda dilakukan oleh kekuatan gabungan AL dan AD (Tentara ke-16) yang dipimpin Letjen Hitoshi Imamura, maka begitu seluruh wilayah ini berhasil didudukinya, langsung dibagi dalam dua kekuasaan. AL atau Kaigun menguasai Kalimantan dan semua wilayah Indonesia bagian timur, sementara Jawa Madura Berta Sumatra diserahkan kepada Rikugun atau AD.
Wilayah Indonesia sendiri seluruhnya berada di bawah Komando Selatan yang berpusat di Saigon, Vietnam. Pimpinannya adalah Marsekal (Darat) Hisaichi Terauchi, yang tugasnya mengawasi operasi militer Jepang di seluruh wilayah pendudukannya di Asia Tenggara. Dengan kekuasaan nyata di tangan militer, baik AD maupun AL, maka sistem pemerintahan pendudukan Jepang baik di Indonesia maupun wilayah lain di Asia Tenggara, semuanya bersifat militeristis.
Akhir bulan madu
Karena itu tidak heran apabila dalam waktu singkat “bulan madu” antara balatentara Dai Nippon dengan rakyat Indonesia meredup, lalu berakhir. Selanjutnya yang terjadi adalah bentuk penjajahan barn oleh sesama bangsa Asia. Aspirasi nasionalisme bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan yang telah dirintis sejak mass penjajahan Belanda, tidak lagi memperoleh tempat. Padahal sewaktu Jepang memasuki Indonesia, rakyat pada umumnya menyambut gembira, mengelu-elukan apa yang mereka kira akan menjadi “pembebas”.
Jepang pun pada awalnya dalam usaha memperoleh dukungan rakyat negeri-negeri, Asia Tenggara yang mereka serbu, selalu mengetengahkan slogan “Asia untuk bangsa Asia sendiri”, yang artinya bangsa Barat sebagai penjajah harus enyah dari Asia. Untuk itu jepanglah yang mempelopori pengusiran penjajah Barat dengan meletupkan perang Asia Timur Raya. Namun slogan itu pun dapat diartikan bahwa penjajahan terhadap bangsa Asia sebaiknya dilakukan oleh sesama bangsa Asia. Penjajah itu adalah Jepang sebagai bangsa Asia termaju yang memiliki aspirasi untuk berekspansi.
Cara menjajah yang keras bahkan kejam dalam sistem pemerintahan militer, segera dirasakan oleh rakyat Indonesia, terutama mereka yang di luar Jawa. AL Jepang atau Kaigun yang tidak punya “pengetahuan dan pengalaman teritorial” seperti AD (yang pernah berkuasa atau memerintah di Formosa dan Manchuria), sikapnya lebih keras dalam menguasai rakyat. Karena itu tak mengherankan bila acap terjadi kekejaman dan pembunuhan massal yang dilakukan oleh Kaigun, seperti yang terjadi di Kalimantan dan wilayah lain di Indone¬sia Timur. Siapa pun baik perorangan maupun kelompok yang dicurigai bersikap anti-Jepang, langsung ditangkap oleh polisi militer AL yang disebut Tokkeitai. Dalam coal kekejaman, mereka ini Bering dianggap lebih brutal daripada Kempeitai, polisi militer AD yang amat ditakuti orang. Ketahuan menyembunyikan pesawat radio misalnya, berarti hukuman berat termasuk mati.
Rakyat kelaparan
Karena Jawa dianggap lebih maju dan potensial daripada daerah-daerah lain ketika itu, maka sikap Jepang di Jawa “lebih modest” sekalipun tetap saja menerapkan kekuasaannya dengan keras. Bangunan ekonomi dan perdagangan tinggalan masa Belanda hancur, balk perkebunan, industri, maupun niaga. Kekurangan sandang dan pangan mewarnai kehidupan sehari-hari rakyat, sehingga tak jarang berbagai jenis tumbuhan atau hewan yang tidak lazim untuk dikonsumsi terpaksa dimakan, seperti bekicot dan daun-daunan. Pemerintah pendudukan Jepang selalu mendorong dan memaksakan peningkatan hasil pertanian makanan di Jawa, karena hasilnya sebagian besar harus disetorkan untuk mendukung upaya perangnya. Tak heran penduduk Jawa yang ketika itu sekitar 50 juta jiwa, banyak yang kelaparan. Tubuh orang-orang yang mati kelaparan, acap ditemukan tergeletak di pinggir jalan.
Sebuah tulisan di Djawa Baroe pads 15 Maret 1944 menyebutkan days upaya untuk melipat gandakan hasil pangan di Jawa yang hasilnya wajib diserahkan kepada Jepang. “….berarti segala ichtiar dan tindakan jang sampai hari ini diambil oleh Goenseikanboe diperkokoh dan diperloeas. faitoe, misalnya tentang pengoempoelanpadi, atas kekoeasaan dan pertanggoengan djawab Sjoetjokan mengandjoerkan setjara koeat serta menggiatkan penjerahan padi. Dengan demikian diatoer perimbangan diantara keboetoehan Balatentara dengan keboetoehan dalam negeri. ” Pengumpulan padi atau bahan pangan ini diawasi dan dilakukan oleh organisasi yang dibentuk di setiap pelosok daerah yang dinamakan “Syokuryo Hanso Tai Shin Tai” atau barisan pelopor untuk pengangkutan bahan pangan. Tentu saja pengangkutan ini mengarah ke gudang pangan Balatentara Nippon.
Penderitaan akibat kurangnya bahan pangan ini tentu berdampak terhadap kondisi kesehatan, sehingga penyakit seperti busung lapar, beri-beri, dan berbagai penyakit lainnya akibat kurang gizi berkembang di tengah rakyat. Angka kematian pun meningkat. Rakyat mulai membenci Jepang karena penderitaan ini, tetapi mereka tidak mampu berbuat apa pun karena ketat dan kerasnya pengawasan serta tindakan dart Jepang dengan Kempeitai-nya. Sekalipun demikian pernah terjadi beberapa protes dan pemberontakan lokal akibat kewajiban menyerahkan hasil panenan kepada penguasa pendudukan Jepang. Misalnya yang terjadi di daerah Pekalongan dan Singaparna, yang lalu dipadamkan oleh tentara Jepang dengan kejam sehingga banyak petani terbunuh.
Banyak hal lain dilakukan pemerintah pendudukan Jepang, namun semua akhirnya tertuju demi kepentingan perangnya sendiri. Mulai dart pembentukan Tonari-gumi atau Rukun Tetangga, usaha meningkatkan produksi pangan, obat¬obatan, ban kendaraan, pengumpulan buah jarak, sekolah pelayaran, sekolah pertukangan, latihan kemiliteran untuk pemuda, pembentukan Heiho, dan tentara Pembela Tanah Air (PETA), hingga pembentukan Djawa Hookoo Kai atau Himpunan Kebaktian Rakyat (Jawa). Himpunan ini tujuannya adalah memobilisasi potensi segala lapisan dan golongan rakyat guna mendukung tercapainya “kemenangan akhir” dalam……
Kutipan tersebut diambil dari majalah bergambar dua mingguan Djawa Baroe terbitan 1 Maret 2604 Showa atau 1944 Masehi, sebagai awal tulisan berjudul Kissah Pendaratan Balatentara Nippon Ditanah Djawa – Riwajat Belanda moelai dan tammat di Banten. Dalam tulisan ini, dikisahkan tentang daratan pasukan Jepang lainnya di Cretan dan Jawa Timur, hingga .ienyerahnya tentara Belanda. “…Dengan Tergesa-gesa Tjarda dan Ter Poorten lari e Kalidjati, hendak menemoei Panglima Balatentara Nippon. Maksoednja Menjatakan tidak tahan lagi berperang melawan Balatentara Nippon jang gagah berani itoe. Mereka hendak menjerah tidak memakai perdjandjian apa-apa. Balatentara Nippon melihat kedoea pahlawan Belanda ini merasa sangat kasihan dan menerima penjerahan nereka. Dengan perasaan sedih dan menjesal akan kekeliroean sendiri, maka Tjarda dan Ter Poorten keloear dari ,goeboek ketjil—tempat permoesiawaratan di Kalidjati dengan keinsafan, bahwa mereka terdieroemoes oleh Sekoetoenia, Inggeris-Amerika, jaitoe : “Memakloemkan perang pada Dai Nippon dengan tidak tahoe apa maksoednja !”
Sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia, salah satu negeri di Selatan atau Nanyo yang sudah lama diincarnya, baik karena kekayaan cumber alamnya maupun letaknya yang strategic dan menentukan untuk urat nadi perniagaan internasionalnya. Mengingat invasi Jepang terhadap Hindia Belanda dilakukan oleh kekuatan gabungan AL dan AD (Tentara ke-16) yang dipimpin Letjen Hitoshi Imamura, maka begitu seluruh wilayah ini berhasil didudukinya, langsung dibagi dalam dua kekuasaan. AL atau Kaigun menguasai Kalimantan dan semua wilayah Indonesia bagian timur, sementara Jawa Madura Berta Sumatra diserahkan kepada Rikugun atau AD.
Wilayah Indonesia sendiri seluruhnya berada di bawah Komando Selatan yang berpusat di Saigon, Vietnam. Pimpinannya adalah Marsekal (Darat) Hisaichi Terauchi, yang tugasnya mengawasi operasi militer Jepang di seluruh wilayah pendudukannya di Asia Tenggara. Dengan kekuasaan nyata di tangan militer, baik AD maupun AL, maka sistem pemerintahan pendudukan Jepang baik di Indonesia maupun wilayah lain di Asia Tenggara, semuanya bersifat militeristis.
Akhir bulan madu
Karena itu tidak heran apabila dalam waktu singkat “bulan madu” antara balatentara Dai Nippon dengan rakyat Indonesia meredup, lalu berakhir. Selanjutnya yang terjadi adalah bentuk penjajahan barn oleh sesama bangsa Asia. Aspirasi nasionalisme bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan yang telah dirintis sejak mass penjajahan Belanda, tidak lagi memperoleh tempat. Padahal sewaktu Jepang memasuki Indonesia, rakyat pada umumnya menyambut gembira, mengelu-elukan apa yang mereka kira akan menjadi “pembebas”.
Jepang pun pada awalnya dalam usaha memperoleh dukungan rakyat negeri-negeri, Asia Tenggara yang mereka serbu, selalu mengetengahkan slogan “Asia untuk bangsa Asia sendiri”, yang artinya bangsa Barat sebagai penjajah harus enyah dari Asia. Untuk itu jepanglah yang mempelopori pengusiran penjajah Barat dengan meletupkan perang Asia Timur Raya. Namun slogan itu pun dapat diartikan bahwa penjajahan terhadap bangsa Asia sebaiknya dilakukan oleh sesama bangsa Asia. Penjajah itu adalah Jepang sebagai bangsa Asia termaju yang memiliki aspirasi untuk berekspansi.
Cara menjajah yang keras bahkan kejam dalam sistem pemerintahan militer, segera dirasakan oleh rakyat Indonesia, terutama mereka yang di luar Jawa. AL Jepang atau Kaigun yang tidak punya “pengetahuan dan pengalaman teritorial” seperti AD (yang pernah berkuasa atau memerintah di Formosa dan Manchuria), sikapnya lebih keras dalam menguasai rakyat. Karena itu tak mengherankan bila acap terjadi kekejaman dan pembunuhan massal yang dilakukan oleh Kaigun, seperti yang terjadi di Kalimantan dan wilayah lain di Indone¬sia Timur. Siapa pun baik perorangan maupun kelompok yang dicurigai bersikap anti-Jepang, langsung ditangkap oleh polisi militer AL yang disebut Tokkeitai. Dalam coal kekejaman, mereka ini Bering dianggap lebih brutal daripada Kempeitai, polisi militer AD yang amat ditakuti orang. Ketahuan menyembunyikan pesawat radio misalnya, berarti hukuman berat termasuk mati.
Rakyat kelaparan
Karena Jawa dianggap lebih maju dan potensial daripada daerah-daerah lain ketika itu, maka sikap Jepang di Jawa “lebih modest” sekalipun tetap saja menerapkan kekuasaannya dengan keras. Bangunan ekonomi dan perdagangan tinggalan masa Belanda hancur, balk perkebunan, industri, maupun niaga. Kekurangan sandang dan pangan mewarnai kehidupan sehari-hari rakyat, sehingga tak jarang berbagai jenis tumbuhan atau hewan yang tidak lazim untuk dikonsumsi terpaksa dimakan, seperti bekicot dan daun-daunan. Pemerintah pendudukan Jepang selalu mendorong dan memaksakan peningkatan hasil pertanian makanan di Jawa, karena hasilnya sebagian besar harus disetorkan untuk mendukung upaya perangnya. Tak heran penduduk Jawa yang ketika itu sekitar 50 juta jiwa, banyak yang kelaparan. Tubuh orang-orang yang mati kelaparan, acap ditemukan tergeletak di pinggir jalan.
Sebuah tulisan di Djawa Baroe pads 15 Maret 1944 menyebutkan days upaya untuk melipat gandakan hasil pangan di Jawa yang hasilnya wajib diserahkan kepada Jepang. “….berarti segala ichtiar dan tindakan jang sampai hari ini diambil oleh Goenseikanboe diperkokoh dan diperloeas. faitoe, misalnya tentang pengoempoelanpadi, atas kekoeasaan dan pertanggoengan djawab Sjoetjokan mengandjoerkan setjara koeat serta menggiatkan penjerahan padi. Dengan demikian diatoer perimbangan diantara keboetoehan Balatentara dengan keboetoehan dalam negeri. ” Pengumpulan padi atau bahan pangan ini diawasi dan dilakukan oleh organisasi yang dibentuk di setiap pelosok daerah yang dinamakan “Syokuryo Hanso Tai Shin Tai” atau barisan pelopor untuk pengangkutan bahan pangan. Tentu saja pengangkutan ini mengarah ke gudang pangan Balatentara Nippon.
Penderitaan akibat kurangnya bahan pangan ini tentu berdampak terhadap kondisi kesehatan, sehingga penyakit seperti busung lapar, beri-beri, dan berbagai penyakit lainnya akibat kurang gizi berkembang di tengah rakyat. Angka kematian pun meningkat. Rakyat mulai membenci Jepang karena penderitaan ini, tetapi mereka tidak mampu berbuat apa pun karena ketat dan kerasnya pengawasan serta tindakan dart Jepang dengan Kempeitai-nya. Sekalipun demikian pernah terjadi beberapa protes dan pemberontakan lokal akibat kewajiban menyerahkan hasil panenan kepada penguasa pendudukan Jepang. Misalnya yang terjadi di daerah Pekalongan dan Singaparna, yang lalu dipadamkan oleh tentara Jepang dengan kejam sehingga banyak petani terbunuh.
Banyak hal lain dilakukan pemerintah pendudukan Jepang, namun semua akhirnya tertuju demi kepentingan perangnya sendiri. Mulai dart pembentukan Tonari-gumi atau Rukun Tetangga, usaha meningkatkan produksi pangan, obat¬obatan, ban kendaraan, pengumpulan buah jarak, sekolah pelayaran, sekolah pertukangan, latihan kemiliteran untuk pemuda, pembentukan Heiho, dan tentara Pembela Tanah Air (PETA), hingga pembentukan Djawa Hookoo Kai atau Himpunan Kebaktian Rakyat (Jawa). Himpunan ini tujuannya adalah memobilisasi potensi segala lapisan dan golongan rakyat guna mendukung tercapainya “kemenangan akhir” dalam……
14 Februari dan Sejarah Pendudukan Jepang Di Indonesia
Menyebut tanggal 14 Februari, tentu akan segera mengarahkan pikiran kita pada perayaan Hari Valentine. Kebanyakan orang di seluruh dunia, tua dan muda, merayakan kegembiraan Hari Valentine yang juga dikenal dengan Hari Kasih Sayang ini dengan berbagai cara dan acara; sederhana, meriah, dan bahkan meruah. Namun, tahukah kita bahwa pada tanggal 14 Februari terdapat beberapa catatan sejarah bagi Bangsa Indonesia dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945?
Menilik catatan sejarah selama pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) maka dapat kita temukan beberapa peristiwa penting yang terjadi pada tanggal 14 Februari atau - dalam rentang waktu yang lebih luas - pada bulan Februari. Sejak meletusnya Perang Pasifik pada tahun 1941, Jepang kemudian berusaha untuk menguasai sumber-sumber alam terutama minyak bumi dengan menyerang dan menguasai wilayah pendudukan Hindia-Belanda, termasuk Indonesia yang saat itu dikenal sebagai penghasil minyak bumi terbaik (Sumatera) di mana minyak yang dihasilkan dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar kapal tanpa harus melalui proses penyulingan terlebih dahulu.
Awal Februari 1942, Jepang mulai menyerang wilayah Sumatera dan mulai meletakkan kapal-kapal patrolinya di sekitar laut Jawa, setelah sebelumnya berhasil menguasai beberapa wilayah di Kalimantan dan Sulawesi. Kemudian Jepang berhasil menguasai Palembang sebagai kota minyak yang sangat berharga saat itu pada tanggal 13 Februari 1942. Keesokan harinya, 14 Februari 1942 sejarah mencatat tenggelamnya Kapal Inggris HMS Li Wo oleh angkatan laut Jepang saat kapal tersebut sedang mengevakuasi tentara dari Jawa (sumber lain mencatat bahwa Kapal HMS Li Wo tengah dalam perjalanan dari Singapore ke Batavia saat ditengeelamkan). Februari 1942 ditutup dengan meletusnya Perang Laut Jawa, dimana angkatan laut Sekutu yang tergabung dalam ABDACOM (American-British-Dutch-Australian Command) berhasil dikalahkan oleh angkatan laut Jepang. Pemerintah Hindia-Belanda akhirnya menyerah tanpa syarat dan menyerahkan wilayah jajahannya atas Indonesia kepada Jepang melalui Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942.
Februari 1943, walupun tidak ada catatan khusus untuk sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 14 Februari, namun ada beberapa peristiwa sejarah yang terjadi pada bulan ini dan penting untuk dicatat. Dimulai dengan usaha keras tentara Jepang untuk menguasai wilayah Indonesia bagian timur, dengan mengirimkan tentara tambahan ke Tanimbar, Kepulauan Kai, dan Irian Barat. Kekalahan Jepang di Kepulauan Solomon pada Februari 1943 menjadikan Amerika kembali berkuasa atas wilayah Pasifik. Kekalahan ini membuat banyak perubahan pada kebijakan Jepang di Indonesia terutama dalam kebijakan militer. Sepanjang tahun 1943 Jepang banyak membentuk tentara binaan Jepang (seperti Heiho, Giyugun, dan Pembela Tanah Air atau PETA) sebagai bentuk antisipasi terhadap serangan pihak Sekutu ke Indonesia nanti.
14 Februari 1944 dicatat oleh Wikipedia dan beberapa sumber lain sebagai “Hari Pemberontakan Anti Jepang Di Jawa” (World War II: Anti-Japanese revolt on Jawa). Tidak jelas peristiwa apa sebenarnya yang dikaitkan dengan pemberontakan anti Jepang tersebut, walaupun memang selama masa pendudukan Jepang di Indonesia banyak terjadi pemberontakan sipil yang dipicu oleh beberapa hal seperti kekejaman tentara Jepang, kerja paksa (Romusha), perampasan terhadap makanan dan pakaian serta harta rakyat lainnya, dan perbudakan perempuan sebagai pemuas nafsu seks tentara Jepang. Salah satu peristiwa perlawanan yang cukup terkenal adalah peristiwa “Sukamanah Bersimbah Darah” yang terjadi pada 25 Februari 1944 setelah shalat Jumat di Pondok Pesantren Sukamanah (Singaparna) Jawa Barat di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa. Peristiwa ini dipicu oleh kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah Jepang kepada rakyat Indonesia untuk melakukan upacara Seikerei setiap pagi, yaitu dengan membungkukkan badan ke arah matahari terbit (Tokyo) untuk memberi penghormatan kepada Kaisar Jepang. Kewajiban ini tentunya menyinggung dan melukai perasaan umat Islam, dan akhirnya pecahlah perlawanan tersebut setelah tentara Jepang dikirimkan untuk menangkap paksa KH. Zainal Mustafa dengan cara kekerasan. 86 orang syuhada tercatat menjadi korban peristiwa tersebut, sedang KH. Zainal Mustafa kemudian ditangkap dan dihukum mati.
14 Februari 1945, terjadi peristiwa pemberontakan yang merupakan pembrerontakan terbesar selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, dikenal sebagai Pemberontakan PETA di Blitar. PETA yang merupakan tentara bentukan Jepang yang ditujukan untuk membantu tentara Jepang kemudian memberontak karena adanya diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang. “Di tempat ini, pada tanggal 14 Februari 1945 tepat pada jam 02.30 dini hari berdentumlah suara mortir yang pertama sebagai tanda dicetuskannya pemberontakan tentara PETA Blitar yang dipimpin Sodancho Supriyadi melawan penjajah Jepang. Bersama dengan gerakan pasukan tersebut dikibarkanlah bendera pusaka merah putih di tiang bendera lapangan apel tentara PETA yang terletak di seberang markas Daidan.” Demikian kalimat yang ditulis pada plakat di bawah patung 7 pejuang PETA yang terletak di sebelah selatan Taman Makam Pahlawan Kota Blitar.
Demikianlah beberapa catatan sejarah pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) yang tanggal kejadiannya bertepatan pada tanggal 14 Februari atau dalam bulan Februari. Pendudukan Jepang di Indonesia sedikit banyak telah membantu Indonesia dalam perjuangan mencapai kemerdekaan, walaupun kekejaman dalam masa penjajahannya pun tidak mudah untuk dilupakan bangsa ini. Beberapa organisasi pendidikan dan kemiliteran bentukan Jepang kemudian justru memupuk semangat rakyat dan para tokokh untuk melawan penjajah Jepang dan berjuang mencapai kemerdekaan. Adalah PETA salah-satu organisasi bentukan Jepang yang peranannya cukup besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia dan dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada khususnya.
Untuk itu, dalam hari kasih sayang ini, marilah sama-sama kita kembali merenungi sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya agar semakin besar rasa cinta dan kasih sayang kita terhadap bangsa dan negara ini. Dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kemudian kita mengisi kemerdekaan dengan mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang terhadap tanah air ke dalam tindakan-tindakan yang positif. Akankah kita tega melakukan perbuatan yang menyakiti mereka yang kita cintai termasuk bangsa ini?
Menilik catatan sejarah selama pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) maka dapat kita temukan beberapa peristiwa penting yang terjadi pada tanggal 14 Februari atau - dalam rentang waktu yang lebih luas - pada bulan Februari. Sejak meletusnya Perang Pasifik pada tahun 1941, Jepang kemudian berusaha untuk menguasai sumber-sumber alam terutama minyak bumi dengan menyerang dan menguasai wilayah pendudukan Hindia-Belanda, termasuk Indonesia yang saat itu dikenal sebagai penghasil minyak bumi terbaik (Sumatera) di mana minyak yang dihasilkan dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar kapal tanpa harus melalui proses penyulingan terlebih dahulu.
Awal Februari 1942, Jepang mulai menyerang wilayah Sumatera dan mulai meletakkan kapal-kapal patrolinya di sekitar laut Jawa, setelah sebelumnya berhasil menguasai beberapa wilayah di Kalimantan dan Sulawesi. Kemudian Jepang berhasil menguasai Palembang sebagai kota minyak yang sangat berharga saat itu pada tanggal 13 Februari 1942. Keesokan harinya, 14 Februari 1942 sejarah mencatat tenggelamnya Kapal Inggris HMS Li Wo oleh angkatan laut Jepang saat kapal tersebut sedang mengevakuasi tentara dari Jawa (sumber lain mencatat bahwa Kapal HMS Li Wo tengah dalam perjalanan dari Singapore ke Batavia saat ditengeelamkan). Februari 1942 ditutup dengan meletusnya Perang Laut Jawa, dimana angkatan laut Sekutu yang tergabung dalam ABDACOM (American-British-Dutch-Australian Command) berhasil dikalahkan oleh angkatan laut Jepang. Pemerintah Hindia-Belanda akhirnya menyerah tanpa syarat dan menyerahkan wilayah jajahannya atas Indonesia kepada Jepang melalui Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942.
Februari 1943, walupun tidak ada catatan khusus untuk sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 14 Februari, namun ada beberapa peristiwa sejarah yang terjadi pada bulan ini dan penting untuk dicatat. Dimulai dengan usaha keras tentara Jepang untuk menguasai wilayah Indonesia bagian timur, dengan mengirimkan tentara tambahan ke Tanimbar, Kepulauan Kai, dan Irian Barat. Kekalahan Jepang di Kepulauan Solomon pada Februari 1943 menjadikan Amerika kembali berkuasa atas wilayah Pasifik. Kekalahan ini membuat banyak perubahan pada kebijakan Jepang di Indonesia terutama dalam kebijakan militer. Sepanjang tahun 1943 Jepang banyak membentuk tentara binaan Jepang (seperti Heiho, Giyugun, dan Pembela Tanah Air atau PETA) sebagai bentuk antisipasi terhadap serangan pihak Sekutu ke Indonesia nanti.
14 Februari 1944 dicatat oleh Wikipedia dan beberapa sumber lain sebagai “Hari Pemberontakan Anti Jepang Di Jawa” (World War II: Anti-Japanese revolt on Jawa). Tidak jelas peristiwa apa sebenarnya yang dikaitkan dengan pemberontakan anti Jepang tersebut, walaupun memang selama masa pendudukan Jepang di Indonesia banyak terjadi pemberontakan sipil yang dipicu oleh beberapa hal seperti kekejaman tentara Jepang, kerja paksa (Romusha), perampasan terhadap makanan dan pakaian serta harta rakyat lainnya, dan perbudakan perempuan sebagai pemuas nafsu seks tentara Jepang. Salah satu peristiwa perlawanan yang cukup terkenal adalah peristiwa “Sukamanah Bersimbah Darah” yang terjadi pada 25 Februari 1944 setelah shalat Jumat di Pondok Pesantren Sukamanah (Singaparna) Jawa Barat di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa. Peristiwa ini dipicu oleh kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah Jepang kepada rakyat Indonesia untuk melakukan upacara Seikerei setiap pagi, yaitu dengan membungkukkan badan ke arah matahari terbit (Tokyo) untuk memberi penghormatan kepada Kaisar Jepang. Kewajiban ini tentunya menyinggung dan melukai perasaan umat Islam, dan akhirnya pecahlah perlawanan tersebut setelah tentara Jepang dikirimkan untuk menangkap paksa KH. Zainal Mustafa dengan cara kekerasan. 86 orang syuhada tercatat menjadi korban peristiwa tersebut, sedang KH. Zainal Mustafa kemudian ditangkap dan dihukum mati.
14 Februari 1945, terjadi peristiwa pemberontakan yang merupakan pembrerontakan terbesar selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, dikenal sebagai Pemberontakan PETA di Blitar. PETA yang merupakan tentara bentukan Jepang yang ditujukan untuk membantu tentara Jepang kemudian memberontak karena adanya diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang. “Di tempat ini, pada tanggal 14 Februari 1945 tepat pada jam 02.30 dini hari berdentumlah suara mortir yang pertama sebagai tanda dicetuskannya pemberontakan tentara PETA Blitar yang dipimpin Sodancho Supriyadi melawan penjajah Jepang. Bersama dengan gerakan pasukan tersebut dikibarkanlah bendera pusaka merah putih di tiang bendera lapangan apel tentara PETA yang terletak di seberang markas Daidan.” Demikian kalimat yang ditulis pada plakat di bawah patung 7 pejuang PETA yang terletak di sebelah selatan Taman Makam Pahlawan Kota Blitar.
Demikianlah beberapa catatan sejarah pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) yang tanggal kejadiannya bertepatan pada tanggal 14 Februari atau dalam bulan Februari. Pendudukan Jepang di Indonesia sedikit banyak telah membantu Indonesia dalam perjuangan mencapai kemerdekaan, walaupun kekejaman dalam masa penjajahannya pun tidak mudah untuk dilupakan bangsa ini. Beberapa organisasi pendidikan dan kemiliteran bentukan Jepang kemudian justru memupuk semangat rakyat dan para tokokh untuk melawan penjajah Jepang dan berjuang mencapai kemerdekaan. Adalah PETA salah-satu organisasi bentukan Jepang yang peranannya cukup besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia dan dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada khususnya.
Untuk itu, dalam hari kasih sayang ini, marilah sama-sama kita kembali merenungi sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya agar semakin besar rasa cinta dan kasih sayang kita terhadap bangsa dan negara ini. Dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kemudian kita mengisi kemerdekaan dengan mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang terhadap tanah air ke dalam tindakan-tindakan yang positif. Akankah kita tega melakukan perbuatan yang menyakiti mereka yang kita cintai termasuk bangsa ini?
Mengenang Kekejaman Tentara Jepang di Indonesia
Tentara Jepang hanya 3, 5 tahun saja menjajah Indonesia, namun kekejamannya seakan melebihi Belanda. Bukan hanya kerugian di bidang materil, namun juga dari sisi mentalitas dan kehormatan. Sebuah catatan sejarah gelap suatu bangsa yang melakukan penjajahan dengan sempurna.
Saat kami berada di Jepang selama 7 hari, di balik kekaguman kami terhadap kemajuan secara materil terhadap negara ini, terbayang pula sejarah kelam antara Jepang dengan Indonesia.
Salah satunya adalah catatan kelam tentang para wanita yang dijadikan pemuas kebutuhan binatang tentara Jepang di masa penjajahan. Mereka kini sudah jadi nenek-nenek, tapi kekejaman tentara Jepang yanrg sedang gila di masa itu, masih terbayang dengan jelas, belum terkubur.
Penjajahan Jepang
Salah satu analisa kenapa Jepang bersemangat untuk menguasai benua Asia adalah karena kebutuhan atas sumber enegi minyak bumi. Hal itu semakin memuncak saat geliat industri di Jepang mulai naik, sementara negara-negara Barat yang diwakili oleh Amerika mengembargo minyak ke Jepang.
Maka mulailah Jepang melancarkan serangan ke Asia. Padahal awalnya Jepang berkampanye menjadi pelindung Asia. Ada selogan di masa itu bahwa Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpian Asia dan Jepang Pelindung Asia.
Tetapi yang terjadi kemudian justru Jepang menjadi musuh sekaligus penjajah Asia. Termasuk menjadi malaikat pembunuh buat bangsa Indonesia. Kedatangan Jepang menandai sejarah hitam bangsa Indonesia sepanjang tiga setengah tahun.
Di level dunia, meski awalnya pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus. Apalagi bila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara.
Armada Kekuatan Yang Dahsyat
Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang nekad, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar.
Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang dikerahkan. Sejarah mencatat bahwa armada itu mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur.
Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii.
Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa.
Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.
Tentara Jepang Masuk Indonesia
Hanya di awal pendudukan, Jepang bersikap baik kepada bangsa Indonesia. Sebab kedatangan Jepang ternyata bisa mengusir Belanda yang sudah 14 keturunan menguasai kepulauan nusantara.
Tapi lama kelamaan ketahuan juga belangnya. Jepang kemudian berubah menjadi sangat kejam. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Karena sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana terbuat dari karung goni. Hanya orang kaya saja yang punya baju yang terbuat dari kain. Itu pun kain seadanya, jauh dari layak.
Pokoknya kekejaman penjajahan Belanda selama 350 tahun seakan terhapus oleh kekejaman Jepang. Bukan terhapus karena hilang, tapi terhapus karena mendapatkan penjajahan yang lebih berat.
Para orang tua yang kini sudah kakek-kakek menceritakan bahwa rakyat sulit mendapat obat-obatan. Rumah-rumah sakit langka. Mereka yang menderita koreng dan jumlahnya banyak sekali, sulit mendapatkan salep. Alwi Sahab dalam tulisannya sampai menuliskan bahwa terpaksa uang gobengan digecek dan ditemplok ke tempat yang sakit sebagai ganti perban.
Jangan tanya masalah sekolah, karena tidak ada buku dan tidak ada kertas. Bahkan buku tulis terbuat dari kertas merang. Pencilnya menggunakan arang, hingga sulit sekali menulis.
Saking laparnya, tempat sampah menjadi tempat paling favorit bahkan orang berebut makanan sisa buangan makan orang Jepang. Kalau bukan rebutan makanan di tempat sampah, penjajah Jepang memrintahkan rakyat makan bekicot.
Radio yang hanya dimiliki beberapa gelintir orang disegel. Hanya siaran pemerintah Dai Nippon yang boleh didengarkan. Kalau sampai ketahuan rakyat mendengarkan siaran luar negeri pasti akan dihukuman berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi militer Jepang.
Pada malam hari seringkali terdengar sirene kuso keho sebagai pertanda bahaya serangan udara dari tentara sekutu. Rakyatpun setelah memadamkan lampu cepat-cepat pergi ke tempat perlindungan. Di halaman rumah-rumah kala itu digali lobang untuk empat atau lima orang bila terdengar sirene bahaya udara.
Ratusan ribu tenaga kerja paksa atau disebut romusha dikerahkan dari pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar wilayah Indonesia. Mereka diperlakukan tidak manusiawi sehingga banyak yang menolak jadi romusha.
Dan Jepang pun menggunakan cara paksa. Setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia kerja, setelah mereka dipaksa jadi romusha. Ribuan romusha dikerahkan ke medan pertempuran Jepang di Irian, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Thailand, Burma dan beberapa negara lainnya.
Banyak kisah-kisah sedih yang mereka alami di hutan belukar, hidup dalam serba kekurangan dan di tengah ancaman bayonet. Sampai kini masih banyak eks romusha korban PD II mengajukan klaim agar Jepang membayar konpensasi gaji mereka yang tidak dibayar selama jadi romusha.
Perempuan Pemenuh Kebutuhan Seks Tentara Jepang
Dosa tentara Jepang tidak hanya terbatas pada kelangkaan makanan, standar kesehatan yang nol, kerja paksa, tetapi termasuk juga memperbudak para perempuan. Ribuan wanita Indonesia yang ditangkap dan dipaksa menjadi fujingkau atau iugun yanfu alias -- perempuan pemuas seks tentara Jepang.
Intinya, militer Jepang membuat tiga kesalahan besar terhadap bangsa Indonesia:
1. Kerja Paksa
Banyak laki-laki Indonesia diambil dari tengah keluarga mereka dan dikirim hingga ke Burma untuk melakukan pekerjaan pembangunan dan banyak pekerjaan berat lainnya dalam kondisi-kondisi yang sangat buruk. Ribuan orang mati atau hilang.
2. Perampasan Harta Benda
Tentara Jepang dengan paksa mengambil makanan, pakaian dan berbagai pasokan lainnya dari keluarga-keluarga Indonesia, tanpa memberikan ganti rugi. Hal ini menyebabkan kelaparan dan penderitaan semasa perang.
3. Perkosaan dan Perbudakan Perempuan
Perbudakan paksa terhadap perempuan: banyak perempuan Indonesia yang dijadikan "wanita penghibur " bagi tentara-tentara Jepang.
Balasan Kepada Jepang
Lalu timbul sebuah pertanyaan besar. KAlau Jepang telah menjajah negeri kita dan menimbulkan kesengsaraan yang akut, lalu apa yang seharusnya sekarang kita lakukan?
Apakah kita harus marah dan mengamuk menyesali nasib? Ataukah kita harus balas dendam melawan dengan kekerasan? Atau kah ada cara lain yang lebih beradab?
Sebenarnya balasan buat Jepang sudah diberikan Allah SWT. Walau tidak harus lewat tangan kita sendiri. Allah SWT memberikan pelajaran kepada bangsa Jepang lewat tangan yang lain, yaitu lewat dijatuhkannya bom atom di Horishima dan Nagasaki. Dua kota itu lumpuh total dan Jepang pun menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Itu saja sudah menjadi pelajaran berarti buat Jepang. Tentara mereka kembali ke kampuang halaman. Penjajahan mereka terhadap Asia berakhir sudah.
Saat kami berada di Jepang selama 7 hari, di balik kekaguman kami terhadap kemajuan secara materil terhadap negara ini, terbayang pula sejarah kelam antara Jepang dengan Indonesia.
Salah satunya adalah catatan kelam tentang para wanita yang dijadikan pemuas kebutuhan binatang tentara Jepang di masa penjajahan. Mereka kini sudah jadi nenek-nenek, tapi kekejaman tentara Jepang yanrg sedang gila di masa itu, masih terbayang dengan jelas, belum terkubur.
Penjajahan Jepang
Salah satu analisa kenapa Jepang bersemangat untuk menguasai benua Asia adalah karena kebutuhan atas sumber enegi minyak bumi. Hal itu semakin memuncak saat geliat industri di Jepang mulai naik, sementara negara-negara Barat yang diwakili oleh Amerika mengembargo minyak ke Jepang.
Maka mulailah Jepang melancarkan serangan ke Asia. Padahal awalnya Jepang berkampanye menjadi pelindung Asia. Ada selogan di masa itu bahwa Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpian Asia dan Jepang Pelindung Asia.
Tetapi yang terjadi kemudian justru Jepang menjadi musuh sekaligus penjajah Asia. Termasuk menjadi malaikat pembunuh buat bangsa Indonesia. Kedatangan Jepang menandai sejarah hitam bangsa Indonesia sepanjang tiga setengah tahun.
Di level dunia, meski awalnya pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus. Apalagi bila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara.
Armada Kekuatan Yang Dahsyat
Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang nekad, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar.
Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang dikerahkan. Sejarah mencatat bahwa armada itu mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur.
Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii.
Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa.
Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.
Tentara Jepang Masuk Indonesia
Hanya di awal pendudukan, Jepang bersikap baik kepada bangsa Indonesia. Sebab kedatangan Jepang ternyata bisa mengusir Belanda yang sudah 14 keturunan menguasai kepulauan nusantara.
Tapi lama kelamaan ketahuan juga belangnya. Jepang kemudian berubah menjadi sangat kejam. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Karena sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana terbuat dari karung goni. Hanya orang kaya saja yang punya baju yang terbuat dari kain. Itu pun kain seadanya, jauh dari layak.
Pokoknya kekejaman penjajahan Belanda selama 350 tahun seakan terhapus oleh kekejaman Jepang. Bukan terhapus karena hilang, tapi terhapus karena mendapatkan penjajahan yang lebih berat.
Para orang tua yang kini sudah kakek-kakek menceritakan bahwa rakyat sulit mendapat obat-obatan. Rumah-rumah sakit langka. Mereka yang menderita koreng dan jumlahnya banyak sekali, sulit mendapatkan salep. Alwi Sahab dalam tulisannya sampai menuliskan bahwa terpaksa uang gobengan digecek dan ditemplok ke tempat yang sakit sebagai ganti perban.
Jangan tanya masalah sekolah, karena tidak ada buku dan tidak ada kertas. Bahkan buku tulis terbuat dari kertas merang. Pencilnya menggunakan arang, hingga sulit sekali menulis.
Saking laparnya, tempat sampah menjadi tempat paling favorit bahkan orang berebut makanan sisa buangan makan orang Jepang. Kalau bukan rebutan makanan di tempat sampah, penjajah Jepang memrintahkan rakyat makan bekicot.
Radio yang hanya dimiliki beberapa gelintir orang disegel. Hanya siaran pemerintah Dai Nippon yang boleh didengarkan. Kalau sampai ketahuan rakyat mendengarkan siaran luar negeri pasti akan dihukuman berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi militer Jepang.
Pada malam hari seringkali terdengar sirene kuso keho sebagai pertanda bahaya serangan udara dari tentara sekutu. Rakyatpun setelah memadamkan lampu cepat-cepat pergi ke tempat perlindungan. Di halaman rumah-rumah kala itu digali lobang untuk empat atau lima orang bila terdengar sirene bahaya udara.
Ratusan ribu tenaga kerja paksa atau disebut romusha dikerahkan dari pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar wilayah Indonesia. Mereka diperlakukan tidak manusiawi sehingga banyak yang menolak jadi romusha.
Dan Jepang pun menggunakan cara paksa. Setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia kerja, setelah mereka dipaksa jadi romusha. Ribuan romusha dikerahkan ke medan pertempuran Jepang di Irian, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Thailand, Burma dan beberapa negara lainnya.
Banyak kisah-kisah sedih yang mereka alami di hutan belukar, hidup dalam serba kekurangan dan di tengah ancaman bayonet. Sampai kini masih banyak eks romusha korban PD II mengajukan klaim agar Jepang membayar konpensasi gaji mereka yang tidak dibayar selama jadi romusha.
Perempuan Pemenuh Kebutuhan Seks Tentara Jepang
Dosa tentara Jepang tidak hanya terbatas pada kelangkaan makanan, standar kesehatan yang nol, kerja paksa, tetapi termasuk juga memperbudak para perempuan. Ribuan wanita Indonesia yang ditangkap dan dipaksa menjadi fujingkau atau iugun yanfu alias -- perempuan pemuas seks tentara Jepang.
Intinya, militer Jepang membuat tiga kesalahan besar terhadap bangsa Indonesia:
1. Kerja Paksa
Banyak laki-laki Indonesia diambil dari tengah keluarga mereka dan dikirim hingga ke Burma untuk melakukan pekerjaan pembangunan dan banyak pekerjaan berat lainnya dalam kondisi-kondisi yang sangat buruk. Ribuan orang mati atau hilang.
2. Perampasan Harta Benda
Tentara Jepang dengan paksa mengambil makanan, pakaian dan berbagai pasokan lainnya dari keluarga-keluarga Indonesia, tanpa memberikan ganti rugi. Hal ini menyebabkan kelaparan dan penderitaan semasa perang.
3. Perkosaan dan Perbudakan Perempuan
Perbudakan paksa terhadap perempuan: banyak perempuan Indonesia yang dijadikan "wanita penghibur " bagi tentara-tentara Jepang.
Balasan Kepada Jepang
Lalu timbul sebuah pertanyaan besar. KAlau Jepang telah menjajah negeri kita dan menimbulkan kesengsaraan yang akut, lalu apa yang seharusnya sekarang kita lakukan?
Apakah kita harus marah dan mengamuk menyesali nasib? Ataukah kita harus balas dendam melawan dengan kekerasan? Atau kah ada cara lain yang lebih beradab?
Sebenarnya balasan buat Jepang sudah diberikan Allah SWT. Walau tidak harus lewat tangan kita sendiri. Allah SWT memberikan pelajaran kepada bangsa Jepang lewat tangan yang lain, yaitu lewat dijatuhkannya bom atom di Horishima dan Nagasaki. Dua kota itu lumpuh total dan Jepang pun menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Itu saja sudah menjadi pelajaran berarti buat Jepang. Tentara mereka kembali ke kampuang halaman. Penjajahan mereka terhadap Asia berakhir sudah.
Langganan:
Postingan (Atom)