Selasa, 13 September 2011

Kapitalisme, Neo Kolonialisme Jepang ( Bagian 1 )

Menyambut Sang Tamu

KAKUEI Tanaka yang bertubuh gempal itu mempunyai alasan pribadi untuk enggan ke Asia Tenggara.Ia tidak tahan berkeringat. Tapi anak petani Niigata yang kini memimpin Jepang itu terpaksa melepaskan alasan itu. Dari mereka yang sibuk mengurusi soal Jakarta-Tokio sudah tentu ia tahu: hubungan Jepang dengan Indonesia dan Asia Tenggara tak akan baik tanpa ia mencucurkan keringat.
Beberapa kejadian mendorongnya ke situ. Jepang yang aman di bawah payung nuklir Amerika tidak bermimpi tentang seorang Kissinger yang diam-diam muncul di Peking.
Hasil kerja ahli hubungan internasional dari Harvard ini membawa Presiden Nixon ke Peking. Dan Jepang merasa sangat terluka. Takut ketinggalan kereta, Tanaka juga bersalaman dengan Mao Ce-tung di akhir bulan September 1972.
Orang mengira bahwa ketawanya yang lebar di depan "Bapak" RRT itu mungkin karena ia membayangkan sebuah pasar besar: ratusan juta pembaca "buku merah" yang bakal diserbu barang Jepang.

Perhitungan kemudian menunjukkan bahwa bahkan di tahun 1980 nanti, ekspor Jepang ke Cina masih jauh di bawah jumlah yang terjual ke Asia Tenggara sekarang.

Dirjen Penerangan Deplu Jepang buru-buru keluarkan keterangan: "Hubungan Jepang-Cina lebih bersifat politis". Tak diduga sebelumnya bahwa kunjungan ke RRT, yang lebih mencerminkan kehendak kaum usahawan (pendudug Tanaka untuk naik menggantikan Sato pada bulan Juli 1972) hasilnya adalah justru sebuah politik luar negeri bagi Jepang. Negeri ini sejak lama cuma asyik mengekor Amerika. Kini saatnya untuk tidak lagi begitu. Ketika Tanaka masih berada di Peking koran-koran Jepang terus-menerus menyiarkan rasa cemas Asia Tenggara terhadap Jepang. Kecaman-kecaman mulai timbul terhadap ekspansi ekonomi Jepang di Asia Tenggara.

Dan kenyataan kawasan ini memang tidak nampak -- seperti tersisihkan -- di antara gambar Mao dan Tanaka yang muncul di koran-koran. Semangat Bandung Atau Tokio Semua itu dengan saksama juga diketahui oleh penduduk Jepang melalui koran, radio dan tv mereka. Pulang dari Peking, Tanaka mulai dihadapkan kepada soal Asia Tenggara.

Surat kabar terkemuka Jepang, Mainichi, dalam edisi pertama di bulan Oktober 1972 menulis di tajuk-rencananya tentang suatu diplomasi Asia, dalam mana "Asia Tenggara harus mendapat perhatian Jepang". Beberapa hari sebelumnya, Menteri Perindustrian Nakasone telah pula muncul. Ia bicara soal gagasan memajukan hubungan dengan negara-negara Asia, "dengan menghidupkan kembali semangat Bandung" . Semangat Bandung atau semangat Tokio, bagi Tanaka sendiri nampaknya tak jadi soal. Ia sibuk berdiplomasi ke berbagai penjuru dunia, tapi Asia Tenggara belum juga mendapat kunjungan.
"Asia Tenggara memang kurang mendapat perhatian Jepang", kata ahli Asia Tenggara Prof. Toru Yano dari Universitas Kyoto.

Tak mengherankan Tokio sanggup mengorek banyak untung dari bagian dunia yang lain.
Jepang sementara itu memang punya hak untuk merasa setaraf dengan negeri-negeri besar dan negeri-negeri maju. Amerika dan Eropa lebih dekat ke hatinya. Maka para pengusaha mereka datang kemari tanpa perlu tahu soal-soal yang bisa jadi merepotkan mereka pada suatu hari: protes kemarahan di Asia Tenggara.

Hari yang kurang menyenangkan itu nampaknya sudah terbit. Tapi tidak sepenuhnya karena ketidak-tahuan orang Jepang. Berbagai sumber mengatakan bahwa kenikmatan bagi orang Jepang di Republik Indonesia ini memang tak aneh. Masuknya mereka kemari tidak ruwet. "Hanya sejumlah kecil orang tahu tentang Indonesia di Jepang,
dan orang itulah yang memainkan hubungan kedua negara melalui sejumlah kecil orang penting di Jakarta", kata Prof. Yang, yang kini menjadi penasehat Deplu Jepang.

Karena tidak melalui saluran birokratis yang lazim itulah dengan nyaman pedagang-pedagang Jepang pulang pergi dari ratusan kamar mewah Presiden Hotel milik JAL,
persis di seberang Kedutaan Besar mereka di Jakarta. Konco Jepang Mula-mula cuma kritikan melalui koran-koran Jakarta saja yang ada. Lama-lama muncul juga demonstrasi. Aksi terakhir ini tak bisa dipisahkan dari jatuhnya rezim Kittikachorn di Bangkok. Pemerintahan militer yang terusir itu dianggap konco Jepang.
Mereka dituduh jadi sangat kaya oleh kebijaksanaan yang terlalu banyak menguntungkan Jepang.

Tapi tak hanya itu masalah yang dihadapi Tanaka. Jepang justru sedang gundah oleh krisis minyak yang melumpuhkan industri Jepang. Inflasi konon mencapai tingkat 25 persen. Popularitas partai Liberal Demokrat (LDP) yang memerintah juga makin merosot. Enam kursi walikota yang diduduki LDP jatuh ke tangan partai-partai oposisi. Tapi sebelum semua itu, Tanaka pribadi telah terpukul oleh serangan gencar terhadap gagasannya menyebarkan perindustrian Jepang ke selumh pelosok Jepang.
"Tanaka nampaknya mengikuti kebijaksanaan pemerintah sebelumnya yang lebih mementingkan GNP dan melupakan soal polusi", komentar harian Yominri pada tajuk rencananya terbitan 26 September 1972. Dan gagasan mahal Tanaka itu akhirnya memang diam-diam dipeti-eskan.

Sebelum "gagasan menyebarkan polusi itu" -- seperti dikatakan orang Jepang sendiri --, kucing-kucing di Minamata sudah edan kena racun yang mengotori makanan.
Dan 279 petani menderita sakit. Yang tidak bisa menderita lebih lama terpaksa mati: sejumlah 57 orang. Itu terjadi di tahun 1956, akibat polusi air oleh bahan kimia buangan pabrik Chisso.

Malapetaka berikutnya menyerang propinsi Royama ketika dokter Hagino tiba-tiba diserbu penduduk yang mendadak sakit di bawah pusar dan sekujur tulang linu-linu.
Sementara penderita makin parah juga, foto sinar X menunjukkan 72 patah tulang dalam tubuh pasien, akibat bahan kimia cadmium yang telah meracuni sungai Juntsu.
119 petani kemudian meninggal oleh polusi yang diakibatkan oleh pabrik kimia milik Mitsui di situ.

Kisah-kisah yang lebih mengerikan di sekitar polusi ini tersedia cukup banyak dan lebih mengerikan di Jepang. Misalnya, orang Jepang yang warna kulitnya kuning langsat itu bisa melahirkan bayi yang berkulit hitam. Dan ini adalah akibat keracunan alat kimia PCB yang berjangkit via makanan yang disantap ayam sebelum gilirannya dihidangkan kepada manusia.

Kota Tokyo sendiri pernah mendadak terserang awan gelap di udara cerah musim panas 18 Juli 1972. Ternyata itu adalah asap racun yang keluar dari knalpot mobil yang menggumpal setelah bercampur dengan sinar ultra violet matahari. Kata Dr Kaino, direktur lembaga penyelidikan ekologi Tokyo: "Kalau begini terus penduduk Tokyo terpaksa harus pakai topeng gas".

Kota Terakhir Walhasil, tanah air orang Jepang sudah terlalu pengab. Maka mereka tak saja berfikir mengenai pemasaran hasil industri dan pencarian bahan baku.
Juga ekspor pabrik-pabrik yang tentu bisa dianggap juga ekspor polusi. Dan itu sudah mulai mereka lakukan: pabrik petrokimia di Muangthai, assembling mobil ke Indonesia. Berbagai soal itulah -- kecaman terhadap ekspansi ekonomi Jepang di Asia Tenggara, krisis bahan bakar, inflasi dan polusi yang mengintai jiwa bangsa Jepang -- yang secara bersama mengendap di kepala Tanaka, setahun.

Lalu ia memulai muhibah Asia Tenggaranya tanggal 7 bulan ini di Manila. Jakarta, kota terakhir dan terlama yang dikunjungi Tanaka dalam muhibahnya, jauh sebelumnya sudah berkemas dengan berbagai sikap dan pendapat terhadap Jepang. Sekelompok mahasiswa malahan menolak kedatangan Tanaka. Tapi seperti biasanya Menlu Adam Malik muncul dengan sikap ketimurannya yang meminta agar tamu diterima secara sepatutnya meskipun ia ada juga mengeritik Jepang.

Datangnya di Jakarta jatuh pada malam hari. Ini sedikitnya untuk mengurangi kemungkinan Tanaka bersibuk dengan para mahasiswa Indonesia, yang sejak lama nampaknya tidak mau kalah dengan rekan-rekannya di Bangkok. Sudah sejak beberapa minggu polisi anti huru-hara disiap-siagakan. Beberapa tokoh demonstran, antara lain Louis Wangge dan Yulius Usman, sudah ditahan. Tapi itu tak berarti mengurangi ketegangan. Dosen hubungan inter-nasional dari UI Juwono Sudarsono, misalnya meskipun tidak menolak kedatangan Tanaka, ia tidak melihat manfaat dari kunjungan itu. "Ia sebenarnya tidak perlu datang ke mari. Jepang sudah cukup kuat di sini".
Dan kuatnya Jepang menurut dosen yang dekat dengan kegiatan-kegiatan mahasiswa ini bukan saja dalam bidang ekonomi, tapi juga politik. Melalui "saham-saham yang perusahaan yang diberikan Jepang kepada pejabat-pejabat Indonesia", katanya.

Nada komentar seperti itu anehnya justru lebih keras melalui mulut seorang pejabat tinggi Negara. Ia adalah Menteri Mintareja. "Pedagang-pedagang Jepang yang bekerja sama dengan cukong Cina telah melampaui tata kerama dengan menyogok pejabat-pejabat Indonesia dengan wanita-wanita dan lipatan uang", begitu Mintareja sebagai yang dikutip harian Nusantara edisi 14 Desember yang lalu. "Ya, Sudahlah . . .
" Kecaman terbuka ke alamat Jepang sebelumnya memang berkali-kali muncul dalam bentuk demonstrasi ke Kedutaan Besar jalan Thamrin, Toyota Astra maupun puncak wisma Nusantara yang menjunjung lampu reklame Sanyo dan loyota. Lampu-lampu reklame raksasa itu akhir-nya memang diturunkan. Tapi seorang pengusaha Jepang sempat berkata -- mungkin untuk cuci tangan-bahwa bertahannya lampu itu di sana ialah atas jaminan seorang pejabat tinggi Indonesia juga.

Begitu kesalnya fihak Jepang terhadap kritik dan kecaman itu sampai-sampai Yoneda, atase pers Jepang di Jakarta, berkata: "Ya, sudahlah, kalau memang kami tidak disenangi di sini, kami akan pergi". Memang mudah mengatakan itu.
Tapi modal Jepang yang sudah melampaui modal AS (750 juta dollar) itu pasti dengan segala daya akan bertahan terus di negeri yang dengan mudah mereka terobos ini.
"Pengusaha-pengusaha Jepang di Jakarta ini senang dan betah sekali", kata Toru Yano. "Karena moral pemimpin kita mudah dibeli", sambut seorang mahasiswa secara berapi-api pada suatu diskusi mengenai modal asing.

"Soalnya kita ini tidak punya suatu kebijaksanaan yang jelas terhadap Jepang",
komentar seorang peninjau ekonomi. Tambahnya pula: "Hubungan Tokio-Indonesia amat semerawut dan melalui macam-macam saluran tanpa koordinasi. Sektor minyak Jepang punya lobbi sendiri, sektor kayu lain. perikanan lain, perkayuan lain pula.
Dan semua ini melemahkan posisi tawar menawar kita terhadap Jepang".

Seorang bekas politikus yang menjadi pengusaha, melihat kerugian-kerugian yang kita derita sebagai akibat ketidaksiapan kita menghadapi Jepang. "Kerugian itu disebabkan oleh pertentangan antar kita yang efeknya terasa sampai pada perebutan pengaruh, sampai juga di berbagai kedutaan kita. Pertentangan dan perebutan pengaruh di tingkat atas itu nampaknya makin menjadi-jadi, sehingga sulit untuk berbesar hati menghadapi Jepang", katanya. Ini disetujui oleh Juwono Sudarsono. "Tapi itulah memang tragedi-nya negara-negara yang sedang berkembang", katanya.

Lagi Prof. Yano, hal itu juga disebabkan oleh sikap pemimpin-pemimpin Indonesia yang lebih mendahulukan kepentingan pribadi dari pada kepentingan nasional. Kami Cuma Tamu Kecaman-kecaman yang ditujukan kepada ulah modal Jepang di Indonesia itu nampaknya berangsur-angsur beralih ke alamat pejabat-pejabat Indonesia sendiri.
Berbagai demonstrasi, terakhir terjadi minggu lalu di depan kantor Golkar di Jakarta, secara langsung menyebut nama Mayjen. Soedjono Hoemardani. Aspri Presiden ini memang sering dianggap sebagai penghubung utama antara modal Jepang dan pemerintah Indonesia -- mungkin karena tugasnya (Baca Wawancara dengan Soedjono Hoemardani).

Sementara itu peranan pejabat pejabat Indonesia diakui oleh kalangan Jepang. Setidaknya bukan Jepang saja yang salah menurut mereka. Kata Isamu Noto, direktur Jetro di Jakarta: "MITI tidak punya wewenang terhadap perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia. Karena itu kami kurang mengerti kenapa mahasiswa Indonesia berdemonstrasi ke Kedubes Jepang atau kantor perusahaan-perusahaan Jepang.
Tanggung jawab ada pada pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah. Kami cuma tamu yang masuk secara resmi".

Lepas dari itu, orang tak bisa menganggap sepi usaha kalangan pemerintah Indonesia untuk menemukan modus yang baik bagi hubungan Indonesia-Jepang. Dalam rangka itulah harus ditafsirkan seminar yang bulan lalu diselengarakan Yayasan Proklamasi dan dihadiri oleh pejabat-pejabat teras pemerintah Indonesia -- termasuk Jend. Sumitro. Mayjen Ali Murtopo, Mayjen Hoemardani, Letjen. Ibnu Sutowo -- tentang "Hubungan Jepang-Indonesia di tahun tujuhpuluhan".

Memang hasilnya mungkin tidak cepat bisa dirasakan oleh orang banyak yang keliwat sadar terhadap ekspansi modal Jepang. Tapi setidaknya seminar itu bisa memperlihatkan keinginan para pengambil keputusan tentang hubungan kedua negara.
Dan tidak semua pejabat bersikap lunak. Komentar Prof. Yano yang juga peserta seminar terhadap prasaran Jenderal Sumitro waktu itu: "Keras". Itu tidak berarti bahwa pemerintah Indonesia bakal tidak ramah terhadap kunjungan Tanaka.

Walaupun mengenai prioritas pokok-pokok pembicaraan pada mulanya ada perbedaan pendapat Berita-berita yang sampai ke TEMPO
menunjukkan pentingnya pertemuan Tanaka-Soeharto tanggal 15 Januari ini. Minyak bumi jadi topik pembicaraan, utama, tapi gas alam juga tidak kurang penting
sementara soal perkayuan tidak pula dilupakan. Fihak Jepang kabarnya juga akan membicarakan tentang kerja sama kebudayaan. "Pusat kebudayaan Jepang sudah pasti akan dibangun di Jakarta", kata seorang pejabat kedutaan di sini.

Tapi fihak Indonesia kabarnya akan memajukan gagasan Ali Murtopo tentang kerja sama Asia Pasifik dengan Sidney, Jakarta dan Tokio sebagai porosnya (lihat: Wawancara dengan Dr. Yano & Lie Tek Tjeng). Orang-orang Jepang menafsirkan kelahiran gagasan Ali Murtopo itu diilhami oleh gagasan The New Atlantic Charter-nya Kissinger.
Menurut sebuah sumber Jepang, Ali Murtopo sendiri telah menjelaskan gagasan tersebut kepada Tanaka ketika Aspri Presiden itu berada di Tokio tempo hari.

Jepang cenderung untuk menolak gagasan itu, yang sudah merupakan gagasan Pemerintah Indonesia. Jurubicara Asia Tenggara Tak semua kalangan Indonesia sendiri sepakat dengan gagasan itu. Sebab di dalamnya ada sikap yang dianggap mengabaikan kepentingan Indonesia dalam solidaritas dengan negeri-negeri miskin.
Tapi toh penolakan Jepang terhadap gagasan itu dinilai sebagai suatu usaha Tokio untuk melemahkan posisi politis Indonesia sebagai juru-bicara utama Asia Tenggara menghadapi Jepang.

Bagi Jepang meng-hadapi negara-negara Asia Tenggara secara terpisah-pisah, tidak lewat Indonesia terang memang lebih mudah bagi Jepang. Lagi pula pada suatu konperensi dengan menteri-menteri dari berbagai negara Asia Tenggara di Tokio menjelang akhir tahun silam. Menlu Jepang Ohira nampak ingin jadi juru bicara bagi kepentingan Asia Tenggara. Tapi ditolak. Semua itu sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya jinak dan patuh di depan Matahari Terbit.
Soalnya kemudian: dapatkah sikap yang lebih teguh itu ditunjukkan, misalnya dalam soal penanaman modal? Pertanyaan ini merembet di banyak kepala orang Indonesia.
Dan untuk menjawabnya nampaknya tidak sukar. Karena pengusaha Jepang sendiri sebenarnya selalu siap menerima perubahan-perubahan peraturan penanaman modal.

"Mereka tahu betul bahwa cara-cara yang mereka tempuh sekarang ini amat merugikan Indonesia", kata Dr The Kian Wie, ahli ekonomi dari LEKNAS. Tak kurang penting ialah perkara kontrak penjualan minyak dan gas alam Indonesia kepada Jepang.
Kontrak minyak (April 1972) dan kontrak gas alam cair alias LNG (Nopember 1973) dengan Tokio sering dianggap merugikan Indonesia.

Menurut Pengritiknya, kedua bahan bakar yang amat penting itu dipisahkan dari bahan mentah kita, pada hal kalau dijual secara bersama posisi tawar menauar kita akan jadi lebih besar. Tapi tentu saja tergantung juga bagaimana caranya mengatur penjualan dan harga kedua bahan penting itu.

Kepada TEMPO, Toru Yano dengan yakin berkata: "Dalam soal gas alam, Indonesia menang". Alhamdulillah. Tapi seperti dalam hal-hal lain, kemenangan itu masih harus ditunggu. "Semua itu tergantung pemerintah kita. Kitalah yang harus memutuskannya, bukan mereka", kata Dr Lie Tek Tjeng. Dan dalam melakukan tawar menawar itu, kalau pemerintah tidak lupa letak Indonesia yang strategis, tentulah Indonesia bisa tahan harga -- paling tidak menurut jalan fikiran Lie Tek Tjeng.

Tapi meskipun Soeharto-Tanaka berhasil mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah fihak, persoalan belum selesai. Selain sikap Pemerintah Indonesia, sikap dan cara kerja orang Jepang itu sendiri banyak menyusahkan mereka.
Peristiwa Sekolah Jepang yang menghina orang Indonesia atau pemecatan sewenang-wenang tanpa pesangon 17 karyawan dari 11 perusahaan Jepang
akhir tahun silam adalah contoh yang cukup menyolok.

Demikian pula pilihan terhadap orang Cina sebagai pasangan dagang "jelas memperburuk wajah Jepang di mata kebanyakan orang Indonesia meskipun hal itu secara ekonomis amat menguntungkan", kata Yuwono Sudarsono. Apakah itu tidak difikirkan oleh orang-orang Jepang? "Tidak sejauh itu mereka" jawab Yano. Sambungnya pula: "Bagi mereka selama Soedjono Hoemardani masih berkuasa mereka akan tetap merasa aman".

Risiko Psikologis Bagaimanapun keterlibatan Jepang di Indonesia dan Asia Tenggara yang makin membesar memang suatu kali tidak bisa semuanya tergantung pada seorang "bapak". Lagi pula negara-negara lain juga banyak yang berkepentingan -- politis maupun ekonomis -- di sini. Mungkin menyadari inilah maka salah satu nasehat Prof. Yano kepada Tanaka adalah agar segera memanfaatkan Departemen Luar Negeri kedua negara dalam hubungan Indonesia-Jepang dan meng-hindarkan cara yang tidak melalui Deplu.

Dalam rangka ini pulalah maka kepada TEMPO, Yano menyatakan kekhawatirannya akan tingkah laku Tanaka yang kadang aneh. "Saya berharap kali ini Tanaka tidak bertindak yang bukan-bukan. Dia ini orang susah dan sering sekali membingungkan Deplu Jepang" kata Yano. Tapi bagi Juwono Sudarsono kunjungan Tanaka ke Jakarta sekarang ini adalah suatu risiko psikologis bagi Soeharto yang terpaksa harus menelan dakwaan sebagai sangat tergantung pada Jepang. Dakwaan ataupun fitnahan waktu nampaknya belum seluruhnya habis. Perbaikan masih bisa dilakukan untuk keuntungan Indonesia. Menjelang akhir pekan ini sebagian dari sejarah Indonesia sedang ditentukan di muka tuan Tanaka.


TEMPO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar