Jakarta – Pemerintah siap mengambil alih pengelolaan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) pasca berakhirnya Master Agreement dengan pihak Nippon Asahan Aluminium (NAA) Jepang pada 2013.
“Pemerintah tetap ngotot untuk mengambil kepemilikan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dari pemerintah Jepang. Kita tetap ingin Inalum dimiliki Indonesia dan perusahaan tersebut terus berkembang,” kata Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana, di Jakarta, Selasa (3/7).
Agus menegaskan untuk perundingan baru akan dimulai pada Agustus 2012. Saat ini, pihaknya sedang melakukan persiapan untuk bertemu dengan pihak Jepang. “Pemerintah akan melakukan negosiasi pengambilalihan Inalum dengan pihak NAA pada bulan depan. Diharapkan hasilnya positif bagi Indonesia,” ujarnya.
Untuk pengembangan Inalum sendiri, katanya, pemerintah membutuhkan anggaran sebesar US$1,2-1,4 miliar. “Angka tersebut untuk meningkatkan kapasitas produksi aluminium dari 200 ribu ton menjadi 410 ribu ton. Dananya sendiri bisa diambil dari go public, investor dan pinjaman lainnya,” paparnya.
Agus menambahkan produksi Inalum sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Seiring bertumbuhnya sektor industri, Inalum akan memasok bahan baku aluminium bagi pasar dalam negeri pasca pengambilalihan dari pihak Jepang,” ungkapnya.
Ambil Alih
Beberapa waktu lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan mengisyaratkan PT Perusahaan Listrik Negara akan menjadi pemimpin konsorsium BUMN untuk mengambilalih PT Indonesia Asahan Alumunium pada 2013. “Sejumlah BUMN akan dikerahkan untuk mengelola BUMN, dan PLN bisa sebagai pemimpin konsorsium,” kata Dahlan.
Menurut Dahlan, selain PLN, dalam konsorsium tersebut juga akan menyertakan BUMN lain seperti PT Aneka Tambang Tbk, maupun PT Timah Tbk. “Pembentukan konsorsium akan memudahkan pengelolaan Inalum ke depan karena disesuaikan dengan bidang masing-masing BUMN. PLN misalnya mengelola pembangkit listrik Asahan II, sedangkan untuk aluminium bisa digarap oleh Antam dan Timah,” ujarnya.
Dahlan menambahkan keinginan PLN untuk masuk Inalum sudah dimasukkan dalam rencana jangka panjang perusahaan. “Ketika saya masih menjadi Dirut PLN, kami sangat berminat untuk mengoperasikan Inalum karena sejalan dengan rencana integrasikan pembangkit listrik Asahan II berkapasitas 600 MW dengan sistem kelistrikan PLN di Sumatera Utara,” ujarnya.
Dia berpendapat, integrasi listrik tersebut dapat membantu PLN di saat kekurangan daya sehingga semakin memudahkan jaminan ketersediaan listrik di kawasan itu. “PLN mengurusi listrik, sedangkan Antam dan Timah bisa mengelola pabrik peleburan aluminium. Dimungkinkan juga BUMN tersebut menggandeng pihak swasta melalui Pemda,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia menguasai 41,13 % saham di Inalum, selebihnya atau sebesar 58,87 persen dikuasai Jepang. Namun sesuai perjanjian kontrak, pengelolaannya yang selama ini dipegang Jepang segera berakhir 2013. Namun pemerintah Indonesia memutuskan tidak memperpanjang kontrak tersebut, sehingga untuk menguasai seluruh saham Inalum tersebut harus disiapkan dana sekitar US$762 juta.
Berdasarkan perhitungan Otorita Asahan, proyeksi nilai buku Inalum pada 2013 mencapai US$ 1,272 miliar yang mencakup pembangkit listrik (power plant) US$268 juta, pabrik peleburan (smelter) US$ 143 juta , inventori US$ 148 juta dan aset-aset lain sekitar US$ 650 juta.
Dahlan menambahkan, untuk membiayai pengambilalihan saham tersebut pemerintah sudah menyiapkan dana sekitar Rp2 triliun yang akan dibiayai oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP). “PIP yang akan membiayai pengambilalihan sebagai penerima atas nama pemerintah, namun karena PIP bukan perusahaan yang mengelola industri sehingga pengelolaannya dapat tenderkan ke BUMN,” ujarnya.
Meski begitu Dahlan menuturkan skenario tersebut bukan datang dari dirinya namun merupakan langkah yang memang disiapkan pemerintah melalui Tim Negosiasi Inalum yang diketuai Menteri Perindustrian MS Hidayat, dengan anggota pejabat dari Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan.(neraca.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar