Jakarta – Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) mengajak Indonesia untuk bekerja sama di beberapa sektor industri, salah satunya adalah sektor industri otomotif. Namun pemerintah tidak serta merta menerima ajakan kerjasama tersebut.
“Pasalnya kerjasama tersebut belum terlihat keuntungan yang cukup besar terhadap industri nasional,” ungkap Dirjen Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana usai seminar Implementasi Kegiatan Manufacturing Industrial Development Centre (Midec) di Jakarta, Selasa (3/7).
Lebih jauh lagi Agus mengungkapkan, kerjasama itu akan ditinjau. Namun, sebelum ditinjau pihaknya akan mendengarkan hasil evaluasi kerjasama tersebut.”Kita akan lihat siapa yang diuntungkan dan apa yang harus di evaluasi,” ungkap Agus.
Agus mengakui, jika kerjasama kedua negara itu belum terlalu menggembirakan bagi Indonesia. Menurut dia, impor dari Jepang masih lebih besar dibandingkan ekspor Indonesia. Tapi, itu untuk industri saja.
Menurut dia, ekspor Indonesia ke Jepang masih dalam bentuk bahan baku industri Jepang industri. “Karena itu, kita harus memperkuat industri nasional. Mungkin ini juga karena kesalahan industri dalam negeri. Jadi kesalahan tidak bisa sepenuhnya dilimpahkan ke Jepang,” katanya.
Defisit Perdagangan Makin Melebar
Director Trade Policy Bureau Ministry of Economy, Trade and Industry (Meti) Jepang Hiroshi Aimoto mengatakan, dalam peninjauan itu tentu juga akan memperhatikan neraca perdagangan siapa saja yang divisit.”Yang penting evalusi ini kita lihat posisi seperti apa, kalau ada masalah ketimpangan tentu harus diselesaikan,” katanya.
Sebelumnya eSekretaris Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Syarif Hidayat mengungkapkan, kerjasama Indonesian-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) diharapkan jangan hanya menguntungkan pihak Jepang saja, terutama mengenai bea masuk produk otomotif di kedua negara.
Saat ini bea masuk produk otomotif Jepang ke Indonesia sudah 0%, sedangkan otomotif Indonesia masih harus membayar bea masuk yang tinggi. Untuk itu, Indonesia harus bisa mengambil keuntungan dengan melakukan langkah-langkah kebijakan diluar bea masuk. “Kita juga harus ambil keuntungan dari kerjasama ini, sebagai upaya mengimbangi. “Dengan adanya IJ-EPA maka kita harus menurunkan bea masuk, artinya kita membuka pasar bagi produk mereka,” tukas Syarif.
Untuk itu, menurutnya Indonesia harus dapat mendapatkan keuntungan lain dari kerjasama ini. Misalnya dengan kerjasama atau bantuan berupa bidang yang lain seperti tekstil, alat berat, elektronik dan lain-lain.
Terlebih lagi, setelah PT Astra Daihatsu Motor Indonesia telah mengekspor produk Toyota Gran Max ke Jepang sebanyak 1.500 unit mobil per bulan, dengan total ekspor ke Jepanng 18 ribu per tahunnya.
Syarif juga menanggapi, adanya pandangan bahwa produk mobil Indonesia yang dikirim ke Jepang justru mendapat subsidi karena produsen di dalam negeri mendapat insentif dari pemerintah. “Kalau soal harga itu adalah kebijakan bisnis. Pemerintah tidak mau ikut campur soal itu. Tentunya mereka punya skala harga disetiap masing-masing wilayah ekspor,” tutupnya.
Tidak Ada Transfer Teknologi
Hal senada juga di ungkapkan Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia,Gunadi Sindhuwinata yang mengungkapkan kerjasama Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (IJEPA) yang menelurkan Manufacturing Industrial Development Center (Midec), tidak berjalan semestinya. Sebab, Indonesia sejauh ini belum merasakan manfaat besar, termasuk transfer teknologi dan pengetahuan yang disepakati. “Nilai tambah dari kerja sama itu belum ada, tetapi sebaliknya, Jepang telah merasakan manfaat dengan bea ekspor impor 0%,” katanya.
Menurut dia, Jepang bisa memperoleh manfaat dari kerjasama bilateral tersebut dengan nilai triliunan Rupiah setiap tahunnya. Sementara masyarakat otomotif Indonesia belum secara langsung merasakan manfaat kerjasama itu. Karena itu, Gunadi meminta pemerintah memberi dukungan penuh pada industri sektor otomotif untuk meraih manfaat kerjasama tersebut. Sebab, Indonesia dinilai sangat berpeluang untuk berhasil dalam mengembangkan industri otomotif seperti China di kawasan Asia.
Dia mengatakan, China awalnya tidak memiliki teknologi untuk mengembangkan otomotif, tetapi dukungan kebijakan pemerintah untuk menjadikan negara tersebut sebagai basis industri otomotif sangat kuat. “Dukungan pemerintahnya kencang, otomatis pendidikan yang mendukung industri tersebut juga akan naik,” jelasnya.
Dia memberikan masukan kepada pemerintah untuk membangun sebuah wadah, seperti Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) di Bandung, Jawa Barat, untuk dapat menggerakan industri otomotif di Indonesia. “Hampir setiap tahun puluhan ahli Indonesia, dari LIPI, BPPT, maupun dari universitas dikirim keluar negeri untuk memperoleh ilmu langsung dari sana. Sayangnya di sini tidak ada wadahnya. Karena itu, wadah semacam IPTN itu perlu ada,” tambah Gunadi.
Kondisi tersebut, kata dia, sangat berbeda dengan China, sehingga tidak heran jika negara itu menjadi basis industri otomotif terpesat di Asia, bahkan menyalip Jepang. Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang mengikuti China mengingat Indonesia menjadi negara di Asia Pasifik dengan potensi pertumbuhan pasar cukup besar. “Itu mimpi yang bisa jadi kenyataan. Tapi harus ada upaya,” terangnya.
(neraca.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar