Kamis, 14 Juni 2012

Esemka melawan Penjajahan ATPM Jepang

Esemka mobil kebanggaan warga Solo beberapa waktu lalu kembali gagal dalam uji emisi yang dilakukan Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Thermodinamika. Kendaraan yang dicap sebagai mobil nasional (mobnas) ini untuk kedua kalinya kandas uji laik kendaraan di regulator.

Merunut historis mobil kebanggaan negeri ini, Esemka bukan kali pertama ini hadir. Putra-putri bangsa ini sedikitnya telah menelurkan lebih dari 14 rancangan mobnas yang memiliki problematika berbeda-beda.

Indonesia pernah melakukan proyek nasionalisasi Mazda 323 hatchback yang saat itu masih dikendalikan PT Indomobil. Model terakhir proyek ini adalah Mazda Van Tren pada 1994. Pada 1993-1997, rezim Soeharto pernah memberikan instruksi kepada PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) memproduksi Maleo.

Menjalin kerja sama dengan Rover Inggris dan Milliard Design Australia, sebanyak 11 desain mobil diselesaikan IPTN. Namun, gejolak politik dan pergantian kekuasaan membuat proyek tersebut tidak dilanjutkan.

Grup Bakrie melalui PT Bakrie Brothers Tbk pernah menyiapkan mobil Minibus pada tahun 1994 bertitel Beta 97. Mobil jenis multi purpose vehicle (MPV) ini belum sempat diproduksi massal karena lagi-lagi tersandung krisis moneter 1998 sehingga proyek tersebut tidak jadi dilanjutkan.

Dari semua itu, program mobil nasional yang paling terkenal adalah Timor yang dikembangkan PT Timor Putra Nasional milik Hutomo Mandala Putra dan Bimantara milik Bambang Trihatmodjo. Lagi-lagi, proyek tersebut kandas karena krisis moneter dan ditinggalkan pasar.

Seperti tidak pernah kapok, anak-anak negeri ini terus berkreasi dengan meluncurkan berbagai prototipe mobil nasional seperti Kancil, Texmaco Macan, Gang Car, Marlip, Arina, Tawon, Komodo, Gea, Nuri, Mahator, Wakaba, Morina, Beta 97, Maesa PT 44, hingga Perkasa. Sayangnya, mobil-mobil nasional itu sangat jarang ditemui di jalanan.

Ketakutan Prinsipal Jepang Terlepas kegagalan uji emisi Esemka, patut dicermati kementerian yang menaungi industri otomotif nasional sepertinya kehilangan taji mendorong berkembangnya benih-benih Esemka sebagai mobnas di masa depan. Dalam beberapa kali kesempatan Menteri Perindustrian MS Hidayat seolah masih mempertanyakan konsep mobnas tersebut.

Pertanyaannya kemudian mengapa mobnas jalan di tempat? Jawabannya jelas. Keberadaan mobnas termasuk Esemka, secara tidak langsung akan mengancam prinsipal-prinsipal mobil dunia, di Indonesia utamanya Jepang. Sebut saja bagaimana pangsa pasar Toyota atau Daihatsu di Tanah Air jika Esemka bisa menarik hati konsumen lokal.

Sejuah ini, penjualan mobil nasional sangat ditentukan tiga agen tunggal pemegang merek (ATPM) besar yaitu Toyota, Daihatsu, dan Mitsubishi. Total kontribusi ketiganya di atas 65 persen.

Fakta paling nyata, saat penjualan Toyota merosot pada November 2011 menjadi hanya 15.195 unit akibat banjir Thailand, penjualan mobil secara nasional pada bulan itu hanya 67.655 unit, anjlok 21,65 persen dibandingkan penjualan Oktober 2011 sebesar 86.346 unit.

Ketika penjualan Toyota pada Desember 2011 meningkat lagi menjadi 26.076 unit, penjualan mobil di dalam negeri kembali melejit menjadi 80.325 unit.

Di tengah tingginya animo masyarakat pada Esemka, menjadi wajar jika produsen otomotif Jepang di dalam negeri ketar-ketir. Dengan skenario kehadiran mobnas, tentu prinsipal Jepang merasa terancam. Penjualan mereka berpotensi terkoreksi. Maklum, dengan spek yang tidak jauh berbeda dengan mobil-mobil Jepang, Esemka jauh menawarkan harga yang terjangkau.

Harga Esemka saat ini Rp 95 juta. Harga ini belum termasuk pajak, jika dihitung dengan pajak (on the road) harganya bertambah Rp 25 juta menjadi Rp 120 juta.

Apakah harga ini kemahalan? Jika dibandingkan mobil sejenis dengan kapasitas mesin dan kelas yang sama, harga Esemka masih jauh lebih murah. Bandingkan saja dengan harga versi termurah SUV Toyota Rush yang memilik kapasitas mesin sama dengan Esemka. Harganya mencapai Rp 190 jutan. Apalagi jika membandingkan dengan the real SUV seperti Honda CR-V atau Fortuner yang sudah mencapai Rp 400 jutaan.

Di sisi lain, program mobil murah ramah lingkungan (low cost and green car) yang digagas Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan tersendat. Seperti yang diketahui, Kemenperin tengah gencar mengundang prinsipal otomotif dunia untuk menelurkan produk mobil murah ini di Indonesia.

Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat potensi investasi yang dibidik cukup besar. Setidaknya, Kemenperin menargetkan 4-5 prinsipal otomotif global berinvestasi untuk memproduksi mobil murah dan ramah lingkungan.

Dengan asumsi satu prinsipal mengalokasikan dana US$ 200-300 juta (Rp 2-3 triliun), maka potensi investasi yang dibidik bisa mencapai US$ 1 miliar (Rp 10 triliun). Angka yang cukup fantastis.

Tanpa mengenyampingkan pentingnya investasi asing di Indonesia, seharusnya pemerintah berusaha mendorong embrio Esemka menjadi mobnas yang bisa diproduksi secara massal. Jika kita belum mampu membuat blok mesin sendiri, pemerintah dihalalkan melakukan impor. Namun komponen pendukungnya harus diberdayakan dari lokal.

Caranya beragam, bisa dimulai dengan memberi kemudahan (insentif) para produsen komponen otomotif dalam negeri. Cara lain adalah menjamin pasokan bahan baku utama kendaraan seperti baja atau plastik. Sementara untuk pendanaan, perbankan nasional harus memberi kemudahaan memberi pinjaman pada industri mobnas.

Whisnu Bagus | Editor ekonomi Beritasatu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar