Larangan Ekspor Bijih Besi
Tokyo - Jepang, konsumen nikel terbesar kedua di dunia, menyerukan Indonesia untuk menghapus larangan ekspor bijih besi, seraya mengancam akan melaporkan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jika pembicaraan menemui jalan buntu.
"Langkah-langkah sepihak di Indonesia yang tidak sesuai," kata Takayuki Ueda, direktur umum dari Biro Industri Manufaktur Kementrian Perdagangan Jepang, dalam sebuah wawancara di Tokyo, Selasa (12/6/2012).
Menurutnya, jika Indonesia melanjutkan larangan pada ekspor seperti yang direncanakan pada 2014, Jepang, yang lebih memilih untuk menegosiasikan solusi, akan mempertimbangkan untuk melapor ke WTO.
“Larangan Indonesia terhadap beberapa ekspor bijih besi sejak 6 Mei serta 20% pajak untuk sisanya, akan meningkatkan biaya untuk peleburan logam di Jepang, ekonomi terbesar ketiga dunia,” kata Ueda.
Negara yang miskin sumber daya ini juga menderita, akibat pembatasan China atas ekspor logam langka. Hal ini membuat harga melonjak, sehingga masalah ini juga dibawa ke WTO tahun ini.
Toshio Nakamura, manajer umum bahan baku baja di Mitsui & Co, pedagang terbesar nikel di Jepang mengatakan, tidak ada negara lain yang akan segera menggantikan Indonesia. "Kami akan mempertimbangkan bagaimana kita mengamankan bahan baku, di bawah peraturan baru untuk industri pertambangan,”ujarnya.
Harga nikel akan naik 17% menjadi rata-rata sebesar US$ 20.000 per metrik ton pada kuartal keempat, menurut median dari 16 perkiraan analis yang dikumpulkan oleh Bloomberg. Harga logam ini telah jatuh 9,1% tahun ini, kinerja terburuk dari enam logam yang diperdagangkan di London Metal Exchange.
Ekspor dari Indonesia, eksportir terbesar di dunia untuk bijih nikel, mungkin jatuh 20% pada semester kedua 2012. Demikian ungkap Sukristiyawan, manajer pemasaran senior PT Aneka Tambang, produsen nikel terbesar kedua RI dalam sebuah wawancara bulan lalu.
Jepang dalam waktu dekat akan bertemu dengan Rizal Affandi Lukman, Deputi Menko Perekonomian Bidang Perdagangan Internasional dan Kerjasama Ekonomi.
Jepang mengaku siap memberikan dukungan kepada Indonesia, berusaha untuk membina industri dalam negeri, dengan menambahkan nilai pada biji besi dan mineral yang belum diolah.
"Melawan Indonesia bukanlah tujuan kami. Jepang memiliki hubungan jangka panjang dengan Indonesia. Selain hubungan bisnis yang juga dekat. Kami ingin mencari solusi melalui dialog,"paparnya.
Beradasarkan data Kementrian Keuangan, Jepang mengimpor 3,65 juta ton bijih nikel pada 2011. Indonesia memasok 1,95 juta ton, atau 53%, diikuti oleh Kaledonia Baru dengan 27% dan Filipina dengan 19%.
Peleburan Jepang, termasuk Pacific Metals Co dan Sumitomo Metal Mining Co mengimpor bijih nikel untuk memproduksi feronikel.
Alasan Jepang Adukan RI Ke WTO tak Kuat
Jakarta - Pemerintah Indonesia menilai alasan pemerintah Jepang mengadukan ke WTO (World Trade Organization) terkait larangan ekspor bahan mentah mineral dinilai tidak memiliki argumen yang kuat.
Seperti diketahui larangan ekspor bahan baku mineral tersebut adalah untuk mengamankan pasokan dalam negeri dan meningkatkan nilai tambah. Demikian disampaikan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Thamrin Sihite saat ditemui di Gedung DPR Jakarta Selasa (12/6/2012).
"Apa alasan dia. Itu kan untuk domestic market obligation (DMO) security of supply di dalam negeri. Jadi tida ada alasan mereka untuk kita di bawa ke WTO," ujar Thamrin.
Lebih lanjut Thamrin mengatakan bahwa Indonesia memiliki argumentasi yang kuat terkait larangan ekspor bahan baku tersebut. Alasan tersebut yaitu untuk kepentingan lingkungan hidup dengan penataan ijin pertambangan dan keamanan pasokan.
"Kita ingin security of supply dari di dalam negeri bisa terpenuhi. Jadi nggak ada urusan dengan WTO. Malahan kita sudah ketemu dengan pihak Jepang nya kok," ujar Thamrin.
Banyak Mekanisme Penyelesaian Gugatan Jepang
Jakarta - Mendag Gita Wirjawan mengungkapkan penyelesaian gugatan Jepang kepada Indonesia terkait kebijakan larangan ekspor bijih mineral mentah dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme.
"Kami akan mencari tahu latar belakang (gugatan) apa? Apakah karena postur kebijakan pengenaan bea keluar terhadap mineral secara umum saja atau ada mineral-mineral khusus," kata Gita selepas pembukaan "Forum Komunikasi Nasional Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 2012" di Jakarta, Rabu (13/6/2012) seperti dikutip Antara.
Gita mengatakan Indonesia tetap membuka peluang penyelesaian ketentuan ekspor bijih mineral secara bilateral terhadap Jepang selain penyelesaian melalui forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Mereka (industri manufaktur di Jepang) memerlukan nikel, tapi pemerintah sudah konsisten untuk melakukan hilirisasi industri nasional sesuai Undang-undang Nomor 14 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara," kata Gita.
Indonesia, menurut Gita, masih membutuhkan pembangunan pabrik peleburan nikel menjadi logam tahan karat (stainless steel) untuk mendukung industri nasional.
Pada Senin (11/9), Pemerintah Jepang meminta Indonesia untuk menghapus larangan ekspor barang tambang pada 2014 dan membuka kemungkinan pengaduan ke forum WTO.
"Tindakan sepihak Indonesia itu tidak sesuai," kata Direktur Jenderal Industri Manufaktur Kementerian Perdagangan Jepang, Takayuki Ueda, seperti dikutip Bloomberg.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar