Kamis, 14 Juni 2012

Menunggu Ancaman Kolonial di Inalum

Jakarta - Kalau tak ada aral melintang, awal Juni, Pemerintah Indonesia akan berunding dengan sejumlah investor Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Alumunium Co.Ltd (NAA). Kabarnya, kedatangan para pemodal yang menguasai 58,87% saham Inalum itu akan didampingi oleh beberapa menteri Negeri Sakura.

Seperti dilansir portal ini sebelumnya, NAA akan melakukan negosiasi ulang menyangkut kepemilikan mereka di Inalum, yang habis pada Oktober 2013. Dua opsi yang akan diajukan investor adalah tetap sebagai pemilk 58,87% saham atau melepas sebagian sahamnya ke pihak Indonesia.

Perundingan ini diperkirakan berlangsung alot. Sebab, sejak awal, pemerntah Indonesia sudah bertekad untuk mengambil alih seluruh saham, sesuai perjanjian kontrak yang diteken pada 1975. Dua BUMN (PT Aneka Tambang dan PLN) sudah disiapkan untuk menangani pengambil-alihan tersebut. Sedangkan pendanaannya, selain akan diambil dari APBN, juga akan dibiayai oleh tiga bank pemeirntah.

Ada beberapa faktor yang membuat Pemerintah RI begitu bersemangat untuk menyelesaikan kontrak dengan NAA. Pertama lantaran selama ini sebagian besar hasil produksi Inalum disekspor ke Jepang. Sementara, untuk memenuhi kebutuhan aluminium dalam negeri, Indoensia harus mengimpor.

Pertimbangan ke dua, perusahaaan yang beraset US$ 2 miliar ini, sejak 2008, sudah mendatangkan untung. Dan alasan terakhir lebih kepada persoalan ‘harga diri’. Maklum, beberapa waktu lalu, kabarnya, Pemerintah Jepang pernah melemparkan ancaman kepada Indonesia.

Melalui sepucuk surat yang ditujukan kepada Presiden SBY, konon, Jepang mengancam akan menarik seluruh investasinya di Indonesia jika konrak Inalum tidak diperpanjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar